Selasa, 14 Juni 2011

DEMOKRASI DAN POLITIK IDENTITAS

 
DEMOKRASI  DAN  POLITIK  IDENTITAS
Tinjuan Kasus :Flores Dan Minangkabau
Ahmad H Silaban

PENDAHULUAN
            Indonesia merupakan negara yang kaya akan keanekaragaman suku dan etnik, dengan adat serta budaya yang berbeda-beda. Dari Sabang sampai Merauke terdapat sekitar 400 lebih etnis yang memiliki budaya tersendiri. Sebagai masyarakat yang menghargai budaya dan adat istiadat yang ada, maka masyarakat kerap menjalani kehidupan yang berlandaskan budaya yang ada. Proses kehidupan berpolitik pun tidak luput dari pengaruh budaya dari setiap etnis yang ada.

            Proses pengambilan keputusan di negara ini sering dilakukan berdasarkan pendekatan budaya (culture approach). Hal tersebut dilakukan karena banyak para pemikir kita beranggapan bahwa masyarakat lokallah yang mengetahui dengan pasti apa yang mereka butuhkan. Oleh karena itu, kebijakan yang diambil harus berdasarkan pendekatan budaya terhadap masyarakat yang bersangkutan.

            Namun, pada masa orde baru pengambilan keputusan berdasarkan pendekatan budaya mulai tercederai. UU No. 5/1974 yang merumuskan supremasi pusat atas daerah-daerah merupakan awal dari semuanya. UU No. 5/1974 tersebut kemudian disempurnakan oleh UU No. 5/1979 mengenai pemerintahan desa, yang menyeragamkan pemerintahan desa di seluruh Indonesia. Kedua Undang-undang yang saling menyempurnakan tersebut semakin memperkuat cengkeraman pusat terhadap daerah. 

            Melalui kedua UU diatas, Soeharto menerapkan penyeragaman terhadap seluruh desa (konsep Jawa) yang ada di Indonesia. Dengan alasan untuk memperlancar pembangunan nasional, daerah dipaksa untuk bertindak sesuai keputusan dari pemerintah pusat. Kebijakan tersebut juga memaksa pemerintah didaerah untuk meninggalkan sistem pengambilan keputusan yang berdasarkan pendekatan budaya (culture approach). Secara perlahan namun pasti budaya lokal mulai terkikis. Para masyarakat dan elite lokal mulai dicekoki dengan istilah-istilah modernisasi dan demokratisasi, tentunya dengan iming-iming kehidupan yang lebih baik baik nasional maupun internasional.

            Setelah berjalan sekitar lima belas tahun, prospek penyeragaman tersebut ternyata tidak menghasilkan perubahan yang signifikan. Satu hal yang secara pasti didapatkan oleh masyarakat adalah Budaya lokal yang mulai terkikis bahkan hampir hilang. Pembangunan nasional yang semula menjadi tujuan penyeragaman juga tidak tercapai dengan baik.

            Untunglah disela-sela proses pengikisan budaya lokal yang ada, rezim orde baru dibawah kepemimpinan soeharto jatuh pada tahun 1998. Seiring jatuhnya masa orde baru, UU tentang supremasi pusat terhadap daerah dan penyeragaman terhadap desa akhirnya dicabut. Daerah diberikan kembali kebebasan untuk memelihara budaya lokal dan melakkan pengambilan kebijakan yang berdasarkan Pendekatan Budaya.

            Banyak daerah yang menyembut hal tersebut dengan sukacita. Masyarakat di daerah berharap agar budaya mereka dapat dipelihara kembali. Sebab mereka merasa bahwa kehidupan mereka justru lebih baik ketika masih menjaga trsdisionalisme. Pemerintah daerah dan elite lokal pun tidak ketinggalan untuk mencoba menerapkan kembali kebijakan yang berbau Culture Approach. Sumatera Barat dan Flores adalah dua daerah yang termasuk menyambut gembira atas tidak diberlakukannya UU No. 5/1974 dan UU No. 5/1979 tersebut.

            Setelah masuk pada masa reformasi, maka hal yang hangat diperbincangkan oleh pemerintah pusat dan daerah adalah Demokrasi. Menghadapi proses globalisasi dunia, pemerintah Indonesia dipaksa untuk menerapkan sistem demokrasi dengan sungguh-sungguh. Hal tersebut harus dilakuakn agar Indonesia semakin dihargai oleh dunia internasional dan dipermudah dalam urusan diplomasi. Daerah pun kembali dipaksa untuk menerapkan sistem demokrasi. Penerapan ssitem demokrasi diikuti oleh proses desentralisasi yang melahirkan otonomi daerah, dimana para kepala daerah juga akan diberi kebebasan untuk memilih dan menentukan siapa yang layak untuk jadi pemimpin mereka lewat proses Pilkada (Pemilihan Kepala daerah).
            Proses demokrasi yang ingin diterapkan akan berhadapan lagi dengan budaya lokal yang telah mulai dipelihara kembali. Bagaimana perjalanan demokrasi yang berhadapan dengan budaya politik lokal atau sering disebut sebagai Politik Identitas? Satu pertanyaan tersebutlah yang akan dijawab melalui pembahasan pada makalah ini. Namun penulis tidak akan melihat semua daeraqh yang ada di Indonesia. Akan tetapi penulis akan mencoba melihat dua daerah saja, Minangkabau yang mewakili Indonesia Timur dan Flores yang mewakili Indonesia Barat. Untuk lebih jelasnya, penulis akan memaparkannya pada pembahasan berikut ini.        

PEMBAHASAN

A.     Sekilas Tentang Demokrasi
Carter dan Hertz mengkonseptualisasi tujuh ciri demokrasi, yaitu: pembatasan terhadap tindakan pemerintah dengan menjamin terjadinya pergantian pemimpin secara berkala, tertib, damai, melalui alat-alat perweakilan rakyat yang efektif; menghargai sikap toleransi terhadap perbedaan pendapat yang berlawanan; menjamin persamaan di depan hukum yang diwujudkan dengan sikap tunduk kepada Rule of law tanpa membedakan kedudukan politik; kebebasan berpartisipasi dan beroposisi bagi partai politik, organisasi kemasyarakatan, masyarakat dan perorangan termasuk bagi pers dan media massa; penghormatan terhadap hak rakyat untuk memberikan pendapatnya betapapun tampak salah dan tidak poluler; penghargaan terhadap hak-hak minoritas dan perorangan; dan penggunaan cara persuasif dan diskursif ketimbang koersif dan represif.

Sedangkan Robert A. Dahl mengajukan lima kriteria demokrasi, yakni: persamaan hak pilih dalam menentukan keputusan kolektif yang mengikat; partisipasi efektif, yaitu kesempatan yang sama bagi semua warga negara dalam proses pembuatan keputusan secara kolektif; pembeberan kebenaran, yaitu adanya peluang yang sama bagi setiap orang untuk memberikan penilaian terhadap jalannya proses politik dan pemerintahan; kontrol terakhir terhadap agenda, yaitu adanya kekuasaan ekslusif bagi masyarakat untuk menentukan agenda yang harus dan tidak harus diputuskan melalui pemerintahan; dan terliputnya masyarakat dalam kaitannya dengan hukum.


B.       Sekilas Tentang Minangkabau
Minangkabau adalah salah satu etnik yang ada dan tinggal di Provinsi Sumatera Barat yang terkenal akan budaya matrinealnya. Sebenarnya ada dua etnis yang ada di Sumatera Barat, yaitu Etnis Minangkabau dan Etnis Mentawai. Namun etnis minangkabau merupakan etnis yang mayoritas dan sudah terkenal akan budaya politiknya sejak zaman kolonial.  
Sistem pemerintahan yang dianut dan dijalankan di Minangkabau adalah sistem adat. Nagari merupakan suatu simbol pemerintahan adat di Minangkabau. Nagari adalah nama untuk suatu wilayah, yang disebut dengan desa dalam konsep jawa. Nagari dipimpin oleh seorang pemimpin adat yang disebut dengan Penghulu, sebagai eksekutif dalam konsep trias politika. Namun hal yang menarik tentang sistem pemerintahan adat yang ada di Minangkabau, sehingga penulis mengambilnya sebagai contoh kasus dalam pembahasan makalah ini. Sistem adat di Nagari tidak sama dengan sistem adat yang ada di daerah lain. Sistem pemerintahan adat di Minangkabau tidaklah bersifat permanen seperti sistem kerajaan yang ada di Jawa misalnya. Penghulu sebagai pemimpin tertinggi di Nagari tidak bersifas otoriter, artinya kekuasaan sepenuhnya tidak ada di tangan penghulu.

Dalam menajalankan pemerintahannya, penghulu dibantu oleh Badan Perwakilan Nagari (Parlemen/Legislatif dalam konsep trias politika). Badan Perwakilan Nagari dijalankan oleh “Tali Tigo Sapilin, Tali Tigo Sajarangan (Ninik Mamak, Alim Ulama, dan Cerdik Pandai)”.  Hanya saja ada sedikit perbedaan antara Badan Perwakilan Nagari dengan Legislatif, sebab Badan Perwakilan Nagari berfungsi juga sebagai penasehat bagi penghulu. Pergantian Penghulu di Nagari dilakukan secara turun-temurun.

Adat yang dilaksanakan di Nagari sangat berpatokan dengan ajaran Islam, karena hampir semua masyarakat di Minangkabau beragama islam. Hal tersebut tercermin dalam pepatah Nagari yang sangat terkenal, yaitu: Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah, Syarak Mangato, Adat Mamakai, Alam Takambang jadi guru (Adat Bersendikan Syariah, Syariah Bersendikan Kitab Al-Qur’an, Hukum Agama Mengatur, Adat Dipakai, Alam Adalah Guru Bagi Umat Manusia). Oleh karena itu, jika ada masyarakat yang keluar dari islam (murtadz) akan dikeluarkan dari adat dan tidak diakui dalam Nagari. Selain itu juga tidak diakui lagi sebagi orang Minangkabau.


C.       Sekilas Tentang Flores
Flores juga merupakan satu daerah yang menerapkan ssitem adat dalam menjalankan proses pemerintahan. Namun berbeda dengan Sumatera barat yang hanya dihuni oleh dua etnis, Flores memiliki banyak etnis yang juga berbeda dalam hal budaya serta adat istiadatnya. Namun tidak akan semua dibahas dalam makalah ini, melainkan hanya akan mencoba melihat empat suku besar yang terdapat disana. Keempat suku besar tersebut ialah Ama Koten, Ama Kelen, Ama Marang, Ama Hurint. Keempat suku besar inilah yang nantinya berperan dalam menjalankan sistem pemerintahan.

Pembagian kinerja antara keempat suku besar tersebut tercermin juga dalam ritual pengorbanan hewan. Ama Koten bertugas memegang kepala hewan korban, yang artinya bahwa Dia adalah kepala dari ’panitia empat’, tuan tanah, dan memegang kekuasaan dalam kampung (Penghulu dalam konsep Nagari, dan Eksekutif dalam konsep trias politika). Ama Kelen memegang bagian belakang hewan korban, Dialah yang bertugas mengurus hubungan dengan kampung-kampung lainnya dalam mengatur masalah perang dan damai. Ama Marang bertugas membacakan Doa, menceritakan sejarah asal-usul (tutu ranaring usu-asa) untuk mendapat restu (ike kwaat) dari kekuatan leluhur. Dialah yang bertugas menjaga tatanan adat dalam kampung. Ama Hurint bertugas membunuh hewan korban, meneliti urat hati hewan korban untuk meramal suatu kejadian. Ama Hurint dan Ama Marang juga bertugas memberi nasihat atau saran bila terdapat perbedaan pendapat antara Ama Koten dan Ama Kelen, memberi jalan keluar bersama-sama dengan pemuka-pemuka atau tua-tua yang disebut Kelake.      


D.      Hubungan Demokrasi dan Sistem Adat / Politik Identitas
Seiring dengan diterapkannya sitem demokrasi, maka banyak perubahan yang terjadi dalam sistem adat yang ada di Nagari dan Flores. Dalam Nagari misalnya, perubahan terjadi dalam proses pergantian dan pemilihan Penghulu. Jika sebelumnya Penghulu dipilih dan diganti secara turun temurun, maka lain halnya setelah demokrasi diterapkan. Penghulu kini dipilih secara langsung oleh warga Nagari. Jadi siapa saja berhak untuk menjadi Penghulu, hanya saja sangat memperhatikan track recor sebelumnya. Selain dianggap memiliki kecerdasan, harus juga memiliki iman yang bagus baik dalam teori dan implementasinya. Jadi adat Nagari kini telah menerapkan Demokrasi seperti yang ditawarkan oleh pemerintah pusat dalam hal pergantian pemimpin.   
Perubahan juga terjadi dalam tubuh Badan Perwakilan Nagari. Badan Perwakilan Nagari yang semula dijalankan oleh “Tali Tigo Sapilin, Tali Tigo Sajarangan (Ninik Mamak, Alim Ulama, dan Cerdik Pandai)”, sudah bertambah menjadi lima unsur seiring diterapkannya sistem demokrasi yang ditawarkan oleh pemerintah nasional, yakni Ninik Mamak, Alim Ulama, Cerdik Pandai, dan ditambah dengan Bundo Kanduang serta Pemuda. Hanya saja ada sedikit perbedaan antara sistem adat nagari dengan sistem trias politika berkaitan dengan Badan Perwakilan Nagari. Sebab dalam pemerintahan Nagari, Badan Perwakilan Nagari juga berfungsi sebagai penasehat Penghulu.

Sama halnya dengan apa yang terjadi di pemrintahan Nagari, perubahan juga terjadi di dalam sitem pemerintahan di Flores. Sistem adat di Flores juga telah berpadu dengan ssitem demokrasi, meskipun mereka tidak banyak tahu tentang demokrasi. Masyarakat di Flores memang tidak seberuntung masyarakat di Minangkabau. Jarak yang begitu jauh antara pusat negara (Jakarta) dengan Flores membuat masyarakat disana kurang bersentuhan dengan media dan segala perubahan yang terjadi. Akan tetapi mereka sudah mengetahui sedikit tentang demokrasi, bahkan mereka juga mulai menerapkannya. Terbukti bahwa sitema Adat yang mereka jalankan juga tidak bersifat permanen seperti ssitem kerajaan. Proses pergantian pelaku peemrintahan sudah menerapkan sistem demokrasi. Hubungan antara ketua adat dengan masyarakat dan pelaku pemerintahan lainnya semakin disinergikan. Bahwa ketua adat sebagi pemimpin tertinggi tidak mempunyai hak sepenuhnya atas segalanya, akan tetapi sudah bersifat pembagian kekuasaan atas semua unsur yang ada. Masyarakat juga sudah diikutsertakan dalam proses pengambilan keputusan.
 

E.       Nasionalisme dan Budaya Lokal
Secara teoritis proses pembentukan nasionalisme terdiri dari tiga macam. Yang pertama ialah asumsi Primordial, yaitu proses pembentukan nasionalisme yang dibangun oleh nilai-nilai, emosi, perbedaan yang ada (antar etnis, golongan). Yang kedua ialah asumsi By Design, yaitu pembentukan nasionalisme dengan cara dibentuk oleh negara melalui sistem yang diterapkan oleh pemerintah. Hal tersebut pernah dilaksanakan pada zaman orde baru oleh Soeharto dengan cara penyeragaman desa lewat UU No. 5/1974 yang disempurnakan oleh UU No. 5/1979. yang ketiga ialah melalui gerakan modernisasi, yaitu pembentukan nasionalisme melalui proses globalisasi yang telah melihat dan meniru apa yang ada di negara lain khususnya negara yang dianggap sudah maju. 

Jika kita melihat proses pembentukan nasionalisme di Nagari (Minangkabau) dan di Flores maka kita akan sulit untuk menemukan proses pembentukan nasionalisme melalui asumsi By Design, apalagi melalui gerakan modernisasi. Akan tetapi proses pembentukan nasionalisme yang terjadi adalah melalui proses primordial, yakni melalui nilai-nilai, emosi, dan perbedaan.

Proses pembentukan nasionalisme memang pernah dicoba lewat asumsi By Design, yakni pada masa orde baru oleh Soeharto. Namun cara yang diterapkan tersebut tidak berhasil. Bahkan nasionalisme masyarakat semakin dipertanyakan ketika proses By Design tersebut diterapkan.    

PENUTUP
A.     Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan diatas dapat diambil beberapa kesimpulan mengenai hubungan demokrasi dan politik identitas yang trjadi di Flores dan di Minangkabau. Yang pertama, bahwa sistem adat yang diterapkan di nagari dan di flores tidak menghalangi proses pelaksanaan demokrasi. Demokrasi terbukti dapat dipadukan dengan sistem adat yang ada. Sehingga daerah tetap bisa melaksanakan sistem demokrasi yang diterapkan oleh pemerintah pusat tanpa menghilangkan nilai-nilai budaya serta adat istiadat lokal yang ada.
Yang kedua bahwa sistem adat yang kental akan budaya lokal ternyata juga dapat dipadukan dengan agama yang ada. Di Nagari misalnya, sistem adat sangat erat kaitannya dengan sistem syariah islam dalm pelaksanaannya. Di Flores juga demikian, sistem adat dipadukan dengan ajaran katolik sebagai umat mayoritas disana.
Yang ketiga bahwa adat dan budaya lokal yang ada ternyata sangat efektif dalam proses pembentukan nasionalisme, yang akhir-akhir ini mulai memudar di berbagai wilayah.    


B.      Saran
1.      Pemerintah pusatn diharapkan tidak memaksakan diri untuk menerapkan ssitem perpolitikan di daerrah yang sesuai dengan konsep yang ditawarkan oleh pusat.
2.      Pemerintah diharapkan tidak lebih melihat dan menjadikan demokrasi barat sebagai acuan, tetapi harus menerapkan demokrasi yang sesuai dengan budaya lokal seperti yang diterapkan oleh pemerintah daerah di Nagari dan Flores.
3.      Pemerintah dihaarpkan tidak menerapkan asumsi By design dan Gerakan Modernisasi sebagai proses pembentuk nasionalisme. Akan tetapi harus melalui asumsi primordial yang dilakukam lewat pendekatan budaya (Culture Approach).  


REFERENSI
Nordholt, Henk Schulte., dan Gerry Van Klinken. 2007. Politik Lokal di Indonesia. Buku Obor: Jakarta
Zuhro, Siti., dkk. 2009. Demokrasi Lokal. Penerbit Ombak: Yogyakarta



ISLAM DAN DEMOKRASI


ISLAM DAN DEMOKRASI
Ahmad H Silaban
PENDAHULUAN
Perkembangan zaman dan peradaban sosial tak luput mempengaruhi tatanan sistem sosial dan sistem pemerintahan disemua belahan dunia. Peradaban sosial berkembang sesuai perjalanan waktu mulai dari zaman kegelapan (jahiliyah), zaman pencerahan (renaisance), sampai pada era modern bahkan post modern. Perkembangan zaman tersebut ternyata juga mempengaruhi pola pikir masyarakat didunia. Berkembangnya pola pikir tersebut juga akhirnya berpengaruh kuat terhadap ide mengenai tatanan sebuah  negara. Kita lihat kebelakang misalnya, tatanan sistem sebuah negara berkembang mulai dari Kerajaan absolute, kerajaan konstitusional, sistem keagamaan (teokrasi), kejayaan islam, dan sampai pada yang terakhir yaitu demokrasi.
Banyak sekali sistem tatanan negara yang pernah ada, namun tidak semuanya pernah mengalami kejayaan. Hanya ada beberapa yang sempat memiliki peradaban yang begitu kuat dan tercatat sebagai sejarah seperti sistem kerajaan, sistem teokrasi di eropa dan sebagian barat, sistem khilafah di bagian timur tengah, dan saat ini demokrasi yang kian hari kian banyak dibicarakan di hampir seluruh dunia.
Hampir semua sistem tersebut  akhirnya jatuh karena kelemahan yang terdapat didalamnya dan pengaruh zaman yang semakin berkembang. Sistem kerajaan akhirnya sudah tidak diterima akrena masyarakat sudah semakin pintar, sehingga tidak mau lagi diperbudak dan dipaksa dalam segala hal. Sistem khilafah islam yang sempat mengalami kejayaan yang cukup lama juga akhirnya runtuh akibat penyimpangan yang dilakukan oleh elite atau oknum yang menyalahgunakan sistem. Hanya tinggal demokrasi yang massih bertahan, mungkin karena usianya yang masih sangat muda dan karena masih begitu hangatnya diperbincangkan.
Menurut beberapa pemikir politik bahwa sistem khilafah merupakan cikal bakal pemikiran sistem demokrasi modern. Sebab apa yang menjadi ciri sebuah sistem demokrasi ternyata sudah diterapkan ketika zaman Nabi Muhammad. Oleh karena itulah salah seorang pemikir politik dari barat, Robert N. Bella pernah mengatakan bahwa Nabi Muhammad terlalu dini mencontohkan sistem demokrasi. Beliau beranggapan bahwa masyrakat ketika itu belum siap untuk hidup dalam sebuah sistem demokrasi.
Banyak keterkaitan maupun persamaan antara sistem khilafah dan demokrasi, tetapi banyak juga perbedaan didalamnya. Bahkan banyak juga para pemikir mengatakan bahwa dalam konteks islam demokrasi merupakan sesuatu yang haram. Akan tetapi banyak juga para pemikir politik yang ingin mencari titik temu antara sistem khilafah dan sistem demokrasi. Demokrasi memang sudah lahir sejak masa yunani kuno, sekitar abad ke-5 Sebelum Masehi. Namun perkembangannya baru muncul sekitar abad ke-19. Sedangkan konsep politik islam sudah lahir sejak abad ke-6 ketika Nabi Muhammad memerintah di Madinah. Demokrasi baru mulai berkembang ketika kejayaan islam mulai jatuh sekitar abad ke-19. Oleh sebab itu keduanya merupakan bagian dari sejarah yang cukup erat kaitannya dan menarik untuk diperbincangkan.
Dalam makalah ini akan dibahas bagaimana sebenarnya hubungan antara konsep politik islam dengan konsep demokrasi. Apakah konsep politik islam yang sudah cukup mengakar, khususnya di dunia timur tengah dapat mempercepat pertumbuhan demokrasi atau malah menghambat pertumbuhan demokrasi itu. Itulah yang akan diuraikan pada makalah berikut ini. Tentunya penulis akan melihat beberapa aspek terkait yang dapat dijadikan sebagai tolak ukur untuk melihat permasalahan tersebut. Penulis akan lebih melihat dari segi tokoh atau pemikir politik, khususnya dari tokoh islam. Bagaimana sebenarnya mereka memandang hubungan antara sistem khilafah islam dengan sistem demokrasi. Untuk lebih jelasnya akan diuraikan dalam pembahasan makalah berikut ini.
PEMBAHASAN
A. Sekilas Tentang Demokrasi
Demokrasi berasal dari bahasa yunani yaitu demos yang berarti rakyat dan kratos yang artinya pemerintahan. Demokrasi lahir sebagai pengganti Ajaran Kedaulatan Tuhan (Teokrasi) yang diselewengkan di Eropa pada Abad XIX. Selain itu juga karena kemenangan negara sekutu dari negara fasis pada perang dunia ke dua (1945), dan disusul kemudian dengan keruntuhan Uni Soviet yang berlandasan paham Komunisme di akhir Abad XX , maka paham Demokrasi yang dianut oleh Negara-negara Eropah Barat dan Amerika Utara menjadi paham yang mendominasi tata kehidupan umat manusia di dunia dewasa ini.
Demokrasi dapat dimasukkan ke dalam konteks negara maupun yang bukan dalam konteks negara. Selanjutnya, demokrasi dicerna sebagai ide atau semangat yang membawa nilai-nilai pandangan hidup, way of life. Dan bukan hanya sebagai semangat, tetapi sebagai proses pelembagaan tatanan kekuasaan yang rasional. Dan efektif yang dikontrol oleh masyarakat.
Ditinjau dari segi filosofis. Bahwa demokrasi merupakan suatu ide tentang tatanan politik. Demokrasi merupakan konsep atau perangkat kekuasaan (struktur) yang dimaksudkan sebagai penghayatan, tatanan, dan pengelolaan bernegara yang dikehendaki dan disetujui oleh rakyat melalui suara mayoritas. Dengan ciri khas cita-cita kekuasaan terpusat pada rakyat atau sekarang telah ditransformasi terpusat pada dewan perwakilan rakyat. Dengan prinsip kebebasan, prinsip kesamaan beserta derivatifnya, dan prinsip kehendak rakyat mayoritas.
Secara konklusif dapatlah kita nyatakan bahwa demokrasi adalah operasionalisasi dan institusionalisasi dari prinsip kebebasan, kesamaan beserta derivatifnya, dan persetujuan rasional dari rakyat yang diukur melalui prinsip mayoritas ke dalam semangat dan mekanisme pengelolaan negara yang dapat dikontrol oleh rakyat secara efektif.
Carter dan Hertz mengkonseptualisasi tujuh ciri demokrasi, yaitu: pembatasan terhadap tindakan pemerintah dengan menjamin terjadinya pergantian pemimpin secara berkala, tertib, damai, melalui alat-alat perweakilan rakyat yang efektif; menghargai sikap toleransi terhadap perbedaan pendapat yang berlawanan; menjamin persamaan di depan hukum yang diwujudkan dengan sikap tunduk kepada Rule of law tanpa membedakan kedudukan politik; kebebasan berpartisipasi dan beroposisi bagi partai politik, organisasi kemasyarakatan, masyarakat dan perorangan termasuk bagi pers dan media massa; penghormatan terhadap hak rakyat untuk memberikan pendapatnya betapapun tampak salah dan tidak poluler; penghargaan terhadap hak-hak minoritas dan perorangan; dan penggunaan cara persuasif dan diskursif ketimbang koersif dan represif (Gwendolen M. Carter dan John H. Herz, ”Peranan Pemerintah dalam Masyarakat Masa Kini”, dalam Miriam Budiarjo (ed.) hal. 86-87).
Sedangkan Robert A. Dahl mengajukan lima kriteria demokrasi, yakni: persamaan hak pilih dalam menentukan keputusan kolektif yang mengikat; partisipasi efektif, yaitu kesempatan yang sama bagi semua warga negara dalam proses pembuatan keputusan secara kolektif; pembeberan kebenaran, yaitu adanya peluang yang sama bagi setiap orang untuk memberikan penilaian terhadap jalannya proses politik dan pemerintahan; kontrol terakhir terhadap agenda, yaitu adanya kekuasaan ekslusif bagi masyarakat untuk menentukan agenda yang harus dan tidak harus diputuskan melalui pemerintahan; dan terliputnya masyarakat dalam kaitannya dengan hukum.


B. Sekilas Tentang Konsep Pollitik Islam
Konsep politik islam lahir sekitar abad ke-7 ketika Nabi Muhammad hijrah ke Madinah dan membentuk pemerintahan disana. Konsep politik yang diterapkan oleh Nabi Muhammad adalah sistem khilafah. Dalam sistem khilafah, negara ditata dan diatur berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah. Mulai dari pengaturan ekonomi, sosial, politik, semuanya diatur dengan berlandaskan Al-Qur’an dan Sunnah. Pemimpin negara dalam sistem khilafah adalah seorang khalifah, dimana Nabi Muhammad merupakan khalifah pertama dalam dunia islam.  
M. Shiddiq Al-Jawi dalam tulisannya yang berjudul “Menelusuri Definisi Khilafah” menyatakan bahwa terdapat banyak sekali defenisi tentang kata Khilafah baik secara bahasa maupun secara syar’ie. Namun semua itu merujuk pada makna yang sama. Salah satunya adalah menurut Imam Al-Jawayni (w. 478 H / 1085 M). Beliau menyebutkan bahwa Khilafah (atau nama lainnya adalah Imamah) adalah kepemimpinan yang bersifat menyeluruh (riyasah taammah) sebagai kepemimpinan yang berkaitan dengan urusan khusus dan urusan umum dalam kepentingan-kepentingan agama dan dunia. (Ghiyats al Ummam halaman 15).
Undang-undang dalam sistem khilafah disusun berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah. Apaun kebutuhan dan kepentingan masyarakat harus disusun sesuai dengan isi serta pesan Al-Qur’an dan Sunnah. Undang-undang tersebut harus dilaksanakan oleh khalifah dengan senantiasa bertolak pada Al-Qur’an dan Sunnah. Pelanggaran yang terjadi juga harus diselesaikan dengan cara hukum Allah, yang dijewantahkan lewat Al-Qur’an dan Sunnah.
Setidaknya ada tiga prinsip konsep politik dalam islam, yaitu sebagai berikut:
1          Islam adalah suatu agama yang paripurna, lengkap dengan petunjuk untuk mengatur semua segi kehidupan manusia, termasuk kehidupan poitik dengan arti bahwa didalam islam juga terdapat sistem politik. Oleh sebab itulah beliau menekankan bahwa negara islam tidak perlu meniru-niru sistem politik yang diterapkan di dunia barat. Cukup kembali kepada sistem politik islam, dengan acuan menunjuk pada masa Al Khulafa Al-Rasyidin sebagai contoh kenegaraan islam.
2          Kekuasaan tertinggi, yang dalam istilah politik disebut kedaulatan ada pada Allah dan umat manusia hanyalah pelaksana atas kedaulatan Allah tersebut sebagai khalifah Allah di bumi. Oleh karenanya khalifah sebagai pelaksana harus tunduk kepada Al-Qur’an dan sunnah nabi, dan tidak boleh ada gagasan tentang kedaulatan rakyat seperti yang ada di dunia barat. Maka yang berhak untuk menjadi seorang khalifah hanyalah laki-laki atau perempuan muslim.
3          Sistem politik islam adalah suatu sistem universal dan tidak mengenal batas-batas dan ikatan-ikatan geografi, bahasa, dan kebangsaan.
C. Hubungan Islam Dengan Demokrasi
Seperti yang telah dikemukakan dimuka bahwa untuk melihat hubungan antara islam dan demokrasi, maka penulis akan melihat dari segi ketokohan. Dalam islam pemikir politik terbagi kedalam beberapa kategori atau tipologi. Ada tipologi pemikir yang bersifat radikal, dimana mereka menganggap demokrasi sebagai suatu sistem yang haram karena sangat bertentangan dengan islam. Oleh karena itu islam tidak boleh mencontoh apalagi menerapkan sistem demokrasi. Ada juga tipologi pemikir yang bersifat sekuler, yang beranggapan bahwa antara agama dengan negara harus dipisahkan. Jadi sistem politik suatu negara tidak boleh berdasarkan agama. Selain itu ada juga tipologi pemikir yang bersifat moderat, dimana mereka beranggapan bahwa konsep islam dapat dipadukan dengan konsep demokrasi.
Para pemikir islam radikal berpendapat bahwa demokrasi sangat berlawanan dengan islam, sehingga islam sama sekali tidak boleh mencontoh apalagi menerapkan demokrasi. Ada beberapa prinsip-prinsip islam yang berlawanan dengan prinsip-prinsip demokrasi, diantaranya adalah sebagai berikut:
1.         Pertama, kekuasaan hanya milik Allah dan bukan milik rakyat.
2.         Kedua, hukum yang sah berlaku hanyalah hukum Allah dan rosul-Nya, walaupun bertentangan dengan mayoritas rakyat.
3.         Ketiga, tidak boleh tunduk kepada suara mayoritas, tetapi hanya tunduk kepada hukum Allah
Dalam sistem demokrasi kedaulatan ada ditangan rakyat, yang dijewantahkan lewat suara mayoritas/suara terbanyak. Kewenangan untuk membuat hukum juga ada ditangan manusia yang diamanahkan oleh undang-undang. Ini juga menjadi faktor utama yang membedakan antara sistem Khilafah islam dengan sistem demokrasi. Sistem demokrasi meletakkan kedaulatan di tangan rakyat. Dalam system demokrasi manusia dianggap berhak dan layak menentukan standar kebenaran sehingga manusia berhak membuat hukum. Sistem Demokrasi meletakkan kedaulatan di tangan rakyat, rakyatlah yang berhak menentukan benar/salah serta membuat hukum untuk mengatur kehidupan dengan prinsip dasar “vox populei vox dei” (suara rakyat adalah suara Tuhan).
Sedangkan sistem Khilafah meletakkan kedaulatan di tangan ALLAH, sang Pencipta manusia. Hanya ALLAH-lah yang berhak menentukan benar/salah, baik/buruk, dan membuat hukum. “Menetapkan hukum itu hanyalah hak ALLAH” (TQS. Yusuf [1] : 40). Khalifah dan siapa pun wajib memutuskan semua permasalahan yang dihadapinya hanya berdasarkan hukum ALLAH. “Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang ALLAH turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu.” (TQS. Al-Maidah [5]: 48).
Aturan yang boleh dibuat oleh seorang Khalifah hanyalah aturan yang menyangkut masalah administrasi atau hal-hal teknis seperti aturan lalu lintas, tata kota, dan lain-lain. Itu pun harus selalu merujuk pada hukum syara’. Selebihnya, Khalifah hanya berhak melegislasi hukum syara’ pada masalah-masalah cabang yang bersifat zhanniyah dan memunculkan hasil ijtihad yang beragam dan pelaksanaannya melibatkan interakasi antar ummat yang apabila dibiarkan dikhawatirkan akan menimbulkan perpecahan di antara ummat. Dalam hal ini, siapa pun yng hasil ijtihadnya berbeda harus meninggalkan hasil ijtihadnya dan mengikuti Khalifah karena hadits Rasul dan kaidah fiqh “Perintah Khalifah menghilangkan perbedaan”.
Jika kita menganalisis hubungan antara islam dengan demokrasi dengan tolak ukur tokoh dengan tipologi tersebut, maka jelas jawabannya adalah bahwa islam akan menghambat pertumbuhan demokrasi. Sebab mereka menganggap bahwa demokrasi merupakan suatu sistem yang haram, oleh karena itu tidak boleh disentuh oleh islam.
Namun seperti yang sudah disebutkan bahwa ada juga tipologi pemikir yang bersifat moderat seperti Muhammad Husein Haikal misalnya. Beliau beranggapan bahwa konsep islam bisa saja dipadukan dengan demokrasi dan juga sistem lainnya. Beliau menjelaskan bahwa semua sistem memiliki kelemahan dan kelebihan atau tidak ada yang sempurna. Oleh sebab itu, tidak ada masalah apabila sesuatu yang menajdi kelebihan ssitem politik islam dipadukan dengan sesuatu yang menjadi kelebihan ssitem demokrasi.
Selain beliau ada juga pemikir lain yang cukup moderat dalam menyampaikan gagasan terkait dengan ssitem politik suatu negara, Al-Maududi misalnya. Beliau memang pada awalnya tidak setuju dengan konsep demokrasi murni seperti yang ada di barat. Namun beliau akhirnya melihat satu kelebihan dalam konsep demokrasi, yaitu kebebasan berpendapat bagi semua masyarakat. Itulah yang menjadi cikal bakal ssitem poltiik yang diterapkan di Pakistan yaitu Teodemokrasi, dimana konsep tersebut merupakan ide atau gagasan Al-Maududi.
Jika kita melihat penjelasan diatas dan menjadikannya sebagai tolak ukur dalam melihat hubungan antara islam dan demokrasi. Maka kesimpulan yang diambil juga akan jelas bahwa islam dapat memperkuat pertumbuhan demokrasi. Jadi tidak ada jawaban yang universal mengenai hubunga antara islam dan demokrasi. Untuk melihat apakah islam berdampak positif atau negatif terhadap demokrasi, harus dilihat secara lebih rinci dari aspek mananya. Barulah kita dapat mengatakan apakah konsep politik islam itu mempercepat atau memperlambat pertumbuhan demokrasi.
KESIMPULAN
Islam adalah suatu agama yang paripurna, lengkap dengan petunjuk untuk mengatur semua segi kehidupan manusia, termasuk kehidupan poitik dengan arti bahwa didalam islam juga terdapat sistem politik. Oleh sebab itulah beliau menekankan bahwa negara islam tidak perlu meniru-niru sistem politik yang diterapkan di dunia barat. Cukup kembali kepada sistem politik islam, dengan acuan menunjuk pada masa Al Khulafa Al-Rasyidin sebagai contoh kenegaraan islam. Sistem politik islam adalah suatu sistem universal dan tidak mengenal batas-batas dan ikatan-ikatan geografi, bahasa, dan kebangsaan
Kekuasaan tertinggi, yang dalam istilah politik disebut kedaulatan ada pada Allah dan umat manusia hanyalah pelaksana atas kedaulatan Allah tersebut sebagai khalifah Allah di bumi. Oleh karenanya khalifah sebagai pelaksana harus tunduk kepada Al-Qur’an dan sunnah nabi, dan tidak boleh ada gagasan tentang kedaulatan rakyat seperti yang ada di dunia barat. Maka yang berhak untuk menjadi seorang khalifah hanyalah laki-laki atau perempuan muslim.
Secara konklusif dapatlah kita nyatakan bahwa demokrasi adalah operasionalisasi dan institusionalisasi dari prinsip kebebasan, kesamaan beserta derivatifnya, dan persetujuan rasional dari rakyat yang diukur melalui prinsip mayoritas ke dalam semangat dan mekanisme pengelolaan negara yang dapat dikontrol oleh rakyat secara efektif.
Konsep politik islam dan konsep demokrasi merupakan dua sistem politik yang masing-masing memiliki kelemahan dan kelebihan. Namun untuk melihat apakah konsep islam yang sudah ada sejak lama akan mempercepat atau memperlambat pertumbuhan demokrasi , maka kita tidak bisa melihatnya secara universal. Kita harus melihatnya secara terperinci dengan tolak ukur yang jelas. Misalnya dengan acuan ide para pemikir islam seperti yang dijelaskan diatas. Setidaknya ada dua kesimpulan jika melihat uraian diatas. Pertama, pandangan para pemikir islam radikal yang beranggapan bahwa islam sangat bertentangan dengan demokrasi. Kedaulatan tidak akan pernah ada ditangan manusia, tetapi hanya akan ada ditangan Tuhan. Apabila ini menjadi acuan untuk kita menarik kesimpulan, maka jelaslah islam akan menghambat pertumbuhan demokrasi.
Kedua, pandangan para pemikir islam yang moderat yang beranggapan bahwa semua sistem mempunyai kelemahan dan kelebihan, sama halnya dengan konsep islam dan demokrasi. Mereka lebih melihat bahwa kelebihan dari dua sistem yang berbeda dapat saja dipadukan untuk melahirkan satu sistem baru yang lebih efektif. Seperti yang terjadi di Pakistan misalnya, Al-Maududi mengambil kelbihan konsep islam dan konsep demokrasi serta konsep teokrasi yang kemudian dielaborasi menjadi satu sistem baru yakni Teodemokrasi. Apabila tipe pemikir seperti ini yang kita jadikan sebagi acuan, maka jelas pulalah bahwa islam akan mempercepat atau memperkuat pertumbuhan demokrasi.

DAFTAR  PUSTAKA
Agustino, Leo. 2007. Perihal Ilmu Politik. Graha Ilmu: Yogyakarta
Budiarjo, Miriam. 2006. Dasar-Dasar Ilmu Politik. PT Gramedia Pustaka Utama: Jakarta
Sjadzali, Munawir. Islam dan Tatanegara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran. UI-PRESS: Jakarta
Zuhro, Siti., dkk. 2009. Demokrasi Lokal. Penerbit Ombak: Yogyakarta

MAHASISWA SEBAGAI KEKUATAN POLITIK


MAHASISWA SEBAGAI KEKUATAN POLITIK
Ahmad H Silaban
A.    PENDAHULUAN
Pemuda dan mahasiswa selalu identik dengan perubahan sosial di Indonesia, semenjak jaman kolonial hingga sekarang. Peran kesejarahan dan keterlibatan yang amat panjang telah menempatkannya sebagai kelompok strategis yang memiliki daya dorong transformasi sosial yang signifikan. Hingga tepatlah kiranya bila pemuda dianggap sebagai salah satu ikon penting dalam perubahan sosial di Indonesia. Membaca peran pemuda kontemporer, karenanya butuh diletakkan pada pembacaan historisitasnya. Hal ini bisa dilihat dari peran dan fungsi pemuda dan mahasiswa Indonesia yang begitu kompleks dalam kehidupan berbangsa, diantaranya mulai perlawanan atas imperialisme, hingga penggulingan rezim kekuasaan orde baru, upaya dekonstruksi formasi sosial masyarakat, fungsi sebagai motor penggerak, pengorganisasian dan sekaligus sebagai kekuatan yang berfungsi melawan kekuatan jahat dari luar negara saat ini (neoliberalisme-neoimperialisme).
Mungkin sedikit berkilas balik dan bernostalgia tentang romantisme perjuangan pemuda Indonesia di masa yang lampau. Berakhirnya tanam paksa (cultuur stelsel) telah mengilhami lahirnya politik etis, yang niatan awalnya adalah sebagai bentuk balas jasa pemerintah Hindia Belanda terhadap rakyat Indonesia, atas berbagai macam kekayaan alam bumi Indonesia yang telah dikeruk Belanda. Kaum liberal Belanda yang diwakili oleh Van Deventer mengusulkan program praksis politik dari kebijakan politik etis, yakni trias politica Van Deventer, yang terdiri dari irigasi, emigrasi dan edukasi. Edukasi merupakan bagian politik etis yang mendorong lahirnya sekolah modern di Hindia Belanda, tahun 1902 berdiri Sekolah Dokter Bumiputera (STOVIA). Dari sinilah kemudian lahir lapisan sosial terpelajar dalam masyarakat pribumi. Salah satu pelopor gerakan di masa itu adalah dr. Wahidin Sudhirohusodo, pemimpin majalah “Retnodumilah”. Wahidin berpendapat bahwa kemajuan akan tercapai dengan ilmu pengetahuan barat lewat pendidikan, dengan tanpa meninggalkan warisan Jawa. Tahun 1907 di Jakarta dia bertemu mahasiswa STOVIA dan mendirikan perkumpulan pemuda Budi Utomo pada 20 Mei 1908. Budi Utomo menjadi titik awal lahirnya gerakan kepemudaan yang sifatnya modern dan mengarah pada persatuan nasional, walaupun latar belakangnya masih Jawa sentris. BU menjadi generasi pendobrak bagi perjuangan pemuda Indonesia. Dengan lahirnya Budi Utomo kemudian muncul berbagai macam organisasi kepemudaan yang sifatnya modern, dan mempunyai tujuan politik secara tegas, yaitu melawan imperialisme kolonialisme.
Setelah berjalan dua puluh tahun, beraneka ragam organisasi kepemudaan yang ada di bumi Nusantara –Jong Java, Jong Sumatra, Jong Cilebes, Pemuda Sekar Rukun, Jong Ambon, Jong Borneo, dll- mulai terketuk pintu hatinya untuk mengikatkan diri pada cita-cita luhur, membangun persatuan nasional Indonesia. Sehingga terselenggaralah Kongres Pemuda Indonesia I tahun 1927, dan kemudian dilanjutkan dengan Konges Pemuda Indonesia II pada 1928. Kongres Pemuda II menghasilkan Sumpah Pemuda Indonesia, yang didalamnya menyatakan bahwa Pemuda Indonesia adalah bertanah air satu, berbangsa satu dan berbahasa satu, INDONESIA. Sumpah Pemuda menegaskan cita-cita perjuangan pemuda Indonesia, menuju Indonesia merdeka. Pemuda dan mahasiswa memang selalu berperan penting didalam meraih kemerdekaan bangsa ini. Bung Karno pun selalu merasa bangga terhadap pemuda serta mengagung-angungkannya, seperti ungkapan beliau berikut ini:
“Berikan padaku sepuluh pemuda revolusioner, maka aku akan menggucang dunia”
------ Bung Karno
Belajar dari ghirah Sumpah Pemuda, pada perjalanannya, pemuda Indonesia selalu berandil besar dalam setiap moment-moment besar perjuangan bangsa Indonesia. Setidaknya, peristiwa 1945, 1966, 1974 dan peristiwa 1998 adalah merupakan keberhasilan emas perjuangan pemuda Indoensia, sebagai warisan nilai-nilai perjuangan 1928.
Pada pembahasan ini, penulis akan membahas gerakan mahasiswa dalam perpolitikan di Indonesia dalam beberapa masa. Setidaknya penulis membagi kedalam sembilan masa. Mulai dari masa 1908, 1928, 1945, 1966, 1974, 1978, Era NKK/BKK, masa 1990, dan yang terakhir adalah gerakan mahasiswa tahun 1998. untuk lebih jelasnya akan dipaparkan pada pembahasan berikut.

B.    PEMBAHASAN
            Agent of Change dan Agent of Control Social, itulah dua fungsi utama mahasiswa yang telah dikenal sejak awal. Mahasiswa dianggap sebagai kaum intelektual yang dapat menyongsong perubahan kearah yang lebih baik, juga sangat efektif sebagai kelompok yang kuat untuk mengontrol jalannya sistem pemerintahan. Mahasiswa yang mendapat banyak pengetahuan lewat didikan dunia kampus merasa memiliki beban dan tanggungjawab untuk melahirkan perubahan dan mendorong terciptanya keadilan serat kemakmuran bagi rakyat. Oleh karena itulah, mahasiswa kerap kali melakukan gerakan-gerakan yang bersifat menentang terhadap pemerintah ketika pemerintah dianggap telah melenceng. Untuk lebih jelasnya penulis akan memaparkan gerakan mahasiswa dari masa ke masa sejak Indonesia belum merdeka sampai pada gerakan reformasi pada tahun 1998.
1. Gerakan Mahasiswa 1908
Lahirnya generasi pertama lapisan pemuda berpendidikan modern, sebenarnya bukanlah produk sosial yang murni berasal dari rakyat Indonesia. Kehadiran mereka merupakan produk situasi atau didorong oleh perubahan sikap politik pemerintahan kolonial Belanda terhadap negeri ini. Melalui kebijakan “Politik Etis” yang diciptakan Belanda setelah menjajah lebih dari tiga ratus tahun di atas bumi persada, kaum pribumi khususnya lapisan pemuda, mendapatkan kesempatan untuk masuk ke lembaga-lembaga pendidikan yang telah didirikan oleh Belanda. Walaupun dengan batasan lapisan masyarakat, lembaga pendidikan, dan keterbatasan fasilitas pendidikan yang ada, sehingga banyak pemuda pribumi yang berhasil lulus baik, atas bantuan pemerintah Belanda, dikirim ke luar negeri (kebanyakan ke negeri Belanda) untuk melanjutkan studi mereka.
Dalam masa yang penuh tantangan dihadapkan dengan suasana kolonialisme, realitas politik berupa berlangsungnya proses pembodohan dan penindasan secara struktural yang dilakukan Belanda, berkat kemajuan pendidikan yang berhasil mereka raih berimplikasi pada peningkatan tingkat kesadaran politik,para pelajar dan mahasiswa merasakan sebagai golongan yang paling beruntung dalam pendidikan sehingga muncul tanggung jawab untuk mengemansipasi bangsa Indonesia. Boedi Oetomo, merupakan wadah perjuangan yang pertama kali memiliki struktur pengorganisasian modern. Didirikan di Jakarta, 20 Mei 1908 oleh pemuda-pelajar-mahasiswa dari lembaga pendidikan STOVIA, wadah ini merupakan refleksi sikap kritis dan keresahan intelektual terlepas dari primordialisme Jawa yang ditampilkannya.
Pada konggres yang pertama di Yogyakarta, tanggal 5 Oktober 1908 menetapkan tujuan perkumpulan : Kemajuan yang selaras buat negeri dan bangsa, terutama dengan memajukan pengajaran, pertanian, peternakan dan dagang, teknik dan industri, serta kebudayaan. Dalam 5 tahun permulaan BU sebagai perkumpulan, tempat keinginan-keinginan bergerak maju dapat dikeluarkan, tempat kebaktian terhadap bangsa dinyatakan, mempunyai kedudukan monopoli dan oleh karena itu BU maju pesat, tercatat akhir tahun 1909 telah mempunyai 40 cabang dengan lk.10.000 anggota.
Disamping itu, pada tahun yang sama dengan berdirinya BU oleh para mahasiswa Indonesia yang sedang belajar di Belanda, dibentuk pula Indische Vereeninging yang kemudian berubah nama menjadi Indonesische Vereeninging tahun 1922, disesuaikan dengan perkembangan dari pusat kegiatan diskusi menjadi wadah yang berorientasi politik dengan jelas. Dan terakhir untuk lebih mempertegas identitas nasionalisme yang diperjuangkan, organisasi ini kembali berganti nama baru menjadi Perhimpunan Indonesia,tahun 1925.
Berdirinya Indische Vereeninging dan organisasi-organisasi lain,seperti: Indische Partij yang melontarkan propaganda kemerdekaan Indonesia, Sarekat Islam,dan Muhammadiyah yang beraliran nasionalis demokratis dengan dasar agama, Indische Sociaal Democratische Vereeninging (ISDV) yang berhaluan Marxis, dll menambah jumlah haluan dan cita-cita terutama ke arah politik. Hal ini di satu sisi membantu perjuangan rakyat Indonesia, tetapi di sisi lain sangat melemahkan BU karena banyak orang kemudian memandang BU terlalu lembek oleh karena hanya menuju “kemajuan yang selaras” dan /atau terlalu sempit keanggotaannya (hanya untuk daerah yang berkebudayaan Jawa) meninggalkan BU Oleh karena cita-cita dan pemandangan umum berubah ke arah politik, BU juga akhirnya terpaksa terjun ke lapangan politik.
Kehadiran Boedi Oetomo,Indische Vereeninging, dll pada masa itu merupakan suatu episode sejarah yang menandai munculnya sebuah angkatan pembaharu dengan kaum terpelajar dan mahasiswa sebagai aktor terdepannya, yang pertama dalam sejarah Indonesia : generasi 1908, dengan misi utamanya menumbuhkan kesadaran kebangsaan dan hak-hak kemanusiaan dikalangan rakyat Indonesia untuk memperoleh kemerdekaan, dan mendorong semangat rakyat melalui penerangan-penerangan pendidikan yang mereka berikan, untuk berjuang membebaskan diri dari penindasan kolonialisme.
2. Gerakan Mahasiswa 1928
Pada pertengahan 1923, serombongan mahasiswa yang bergabung dalam Indonesische Vereeninging (nantinya berubah menjadi Perhimpunan Indonesia) kembali ke tanah air. Kecewa dengan perkembangan kekuatan-kekuatan perjuangan di Indonesia, dan melihat situasi politik yang di hadapi, mereka membentuk kelompok studi yang dikenal amat berpengaruh, karena keaktifannya dalam diskursus kebangsaan saat itu. Pertama, adalah Kelompok Studi Indonesia (Indonesische Studie-club) yang dibentuk di Surabaya pada tanggal 29 Oktober 1924 oleh Soetomo. Kedua, Kelompok Studi Umum (Algemeene Studie-club) direalisasikan oleh para nasionalis dan mahasiswa Sekolah Tinggi Teknik di Bandung yang dimotori oleh Soekarno pada tanggal 11 Juli 1925.
Suatu gejala yang tampak pada gerakan mahasiswa dalam pergolakan politik di masa kolonial hingga menjelang era kemerdekaan adalah maraknya pertumbuhan kelompok-kelompok studi sebagai wadah artikulatif di kalangan pelajar dan mahasiswa. Diinspirasi oleh pembentukan Kelompok Studi Surabaya dan Bandung, menyusul kemudian Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia (PPPI), prototipe organisasi yang menghimpun seluruh elemen gerakan mahasiswa yang bersifat kebangsaan tahun 1926, kelompok Studi St. Bellarmius yang menjadi wadah mahasiswa Katolik, Cristelijke Studenten Vereninging (CSV) bagi mahasiswa Kristen, dan Studenten Islam Studie-club (SIS) bagi mahasiswa Islam pada tahun 1930-an.
Lahirnya pilihan pengorganisasian diri melalui kelompok-kelompok studi tersebut, dipengaruhi kondisi tertentu dengan beberapa pertimbangan rasional yang melatari suasana politis saat itu. Pertama, banyak pemuda yang merasa tidak dapat menyesuaikan diri, bahkan tidak sepaham dan kecewa dengan organisasi-organisasi politik yang ada. Sebagian besar pemuda saat itu, misalnya menolak ideologi Komunis (PKI) maka mereka mencoba bergabung dengan kekuatan organisasi lain seperti Sarekat Islam (SI) dan Boedi Oetomo. Namun, karena kecewa tidak dapat melakukan perubahan dari dalam dan melalui program kelompok-kelompok pergerakan dan organisasi politik tersebut, maka mereka kemudian melakukan pencarian model gerakan baru yang lebih representatif.
Kedua, kelompok studi dianggap sebagai media alternatif yang paling memungkinkan bagi kaum terpelajar dan mahasiswa untuk mengkonsolidasikan potensi kekuatan mereka secara lebih bebas pada masa itu, dimana kekuasaan kolonialisme sudah mulai represif terhadap pembentukan organisasi-organisasi massa maupun politik. Ketiga, karena melalui kelompok studi pergaulan di antara para mahasiswa tidak dibatasi sekat-sekat kedaerahan, kesukuan,dan keagamaan yang mungkin memperlemah perjuangan mahasiswa. Ketika itu, disamping organisasi politik memang terdapat beberapa wadah perjuangan pemuda yang bersifat keagamaan, kedaerahan, dan kesukuan yang tumbuh subur, seperti Jong Java, Jong Sumateranen Bond, Jong Celebes, dan lain-lain.
Dari kebangkitan kaum terpelajar, mahasiswa, intelektual, dan aktivis pemuda itulah, munculnya generasi baru pemuda Indonesia: generasi 1928. Maka, tantangan zaman yang dihadapi oleh generasi ini adalah menggalang kesatuan pemuda, yang secara tegas dijawab dengan tercetusnya Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928. Sumpah Pemuda dicetuskan melalui Konggres Pemuda II yang berlangsung di Jakarta pada 26-28 Oktober1928, dimotori oleh PPPI.
3. Gerakan Mahasiswa 1945
Dalam perkembangan berikutnya, dari dinamika pergerakan nasional yang ditandai dengan kehadiran kelompok-kelompok studi, dan akibat pengaruh sikap penguasa Belanda yang menjadi Liberal, muncul kebutuhan baru untuk secara terbuka mentransformasikan eksistensi wadah mereka menjadi partai politik, terutama dengan tujuan memperoleh basis massa yang luas. Kelompok Studi Indonesia berubah menjadi Partai Bangsa Indonesia (PBI), sedangkan Kelompok Studi Umum menjadi Perserikatan Nasional Indonesia (PNI).
Seiring dengan keluarnya Belanda dari tanah air, perjuangan kalangan pelajar dan mahasiswa semakin jelas arahnya pada upaya mempersiapkan lahirnya negara Indonesia di masa pendudukan Jepang. Namun demikian, masih ada perbedaan strategi dalam menghadapi penjajah, yaitu antara kelompok radikal yang anti Jepang dan memilih perjuangan bawah tanah di satu pihak, dan kelompok yang memilih jalur diplomasi namun menunggu peluang tindakan antisipasi politik di pihak lain. Meskipun berbeda kedua strategi tersebut, pada prinsipnya bertujuan sama : Indonesia Merdeka !
Secara umum kondisi pendidikan maupun kehidupan politik pada zaman pemerintahan Jepang jauh lebih represif dibandingkan dengan kolonial Belanda, antara lain dengan melakukan pelarangan terhadap segala kegiatan yang berbau politik; dan hal ini ditindak lanjuti dengan membubarkan segala organisasi pelajar dan mahasiswa, termasuk partai politik, serta insiden kecil di Sekolah Tinggi Kedokteran Jakarta yang mengakibatkan mahasiswa dipecat dan dipenjarakan.
Praktis, akibat kondisi yang vacuum tersebut, maka mahasiswa kebanyakan akhirnya memilih untuk lebih mengarahkan kegiatan dengan berkumpul dan berdiskusi, bersama para pemuda lainnya terutama di asrama-asrama. Tiga asrama yang terkenal dalam sejarah, berperan besar dalam melahirkan sejumlah tokoh, adalah Asrama Menteng Raya, Asrama Cikini, dan Asrama Kebon Sirih. Tokoh-tokoh inilah yang nantinya menjadi cikal bakal generasi 1945, yang menentukan kehidupan bangsa.
Salah satu peran angkatan muda 1945 yang bersejarah, dalam kasus gerakan kelompok “bawah tanah” yang antara lain dipimpin oleh Chairul Saleh dan Soekarni saat itu, yang terpaksa menculik dan mendesak Soekarno dan Hatta agar secepatnya memproklamirkan kemerdekaan, peristiwa ini dikenal kemudian dengan peristiwa Rengasdengklok. Peristiwa Rengasdengklok itu dilatarbelakangi oleh adanya perbedaan pandangan antar generasi tentang langkah-langkah yang harus ditempuh dalam memproklamasikan kemerdekaan. Saat itu Jepang telah menyerah kepada sekutu, dan pemuda (yang cenderung militan dan non kompromis) menuntut peluang tersebut segera dimanfaatkan, tetapi generasi tua seperti Soekarno dan Hatta cenderung lebih memperhitungkan situasi secara realistis. Tetapi akhirnya kedua tokoh proklamator itu mengabulkan keinginan pemuda, dan memproklamasikan negara Indonesia yang merdeka tanggal 17 Agustus 1945. Dengan kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan saat itu, maka sekaligus menandai lahirnya generasi 1945 dalam sejarah Indonesia.
4. Gerakan Mahasiswa 1966
Suasana Indonesia pada masa-masa awal kemerdekaan hingga Demokrasi Parlementer, lebih diwarnai perjuangan partai-partai politik yang saling bertarung berebut kekuasaan. Pada saat yang sama mahasiswa sendiri lebih melihat diri mereka sendiri sebagai The Future Man ; artinya, sebagai calon elite yang akan mengisi pos-pos birokrasi pemerintahan yang akan dibangun. Dalam periode ini, pola kegiatan mahasiswa kebanyakan diisi dengan kegiatan sosial seperti piknik, olahraga, pers, dan klub belajar. Hal ini juga sebagian karena dipengaruhi oleh munculnya orientasi pemikiran untuk kembali ke kampus dan slogan kebebasan akademik yang membius semangat mahasiswa saat itu. Hanya sedikit perhatian diantara mereka untuk memikirkan masalah-masalah politik.
Namun demikian, di satu sisi masa itu juga ditandai dengan mulai aktifnya organisasi mahasiswa yang tumbuh berafiliasi partai politik dan aktivis mahasiswa yang memiliki hubungan dekat dengan elit politik nasional yang berperan dalam sistem politik. Di sisi lain, ada pula perkembangan menarik yang terjadi dengan tumbuhnya aliansi antara kelompok-kelompok mahasiswa, diantaranya Perserikatan Perhimpunan Mahasiswa Indonesia (PPMI), yang dibentuk melalui Kongres Mahasiswa yang pertama di Malang tahun 1947.
Selanjutnya, dalam masa Demokrasi Liberal (1950-1959), seiring dengan penerapan sistem kepartaian yang majemuk saat itu, organisasi mahasiswa ekstra kampus kebanyakan lebih bersifat underbouw partai-partai politik. Misalnya, Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) dekat dengan PNI, Concentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI) dekat dengan PKI, Gerakan Mahasiswa Sosialis Indonesia (Gemsos) dengan PSI, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) berafiliasi dengan Partai NU, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dengan Masyumi, dan lain-lain.
Diantara organisasi mahasiswa pada masa itu, CGMI mendapatkan suasana menggembirakan setelah PKI tampil sebagai salah satu partai kuat hasil Pemilu 1955. Sebagai wujud kegembiraan namun sekaligus kepongahan, CGMI secara berani menjalankan politik konfrontasi dengan organisasi mahasiswa lainnya, bahkan lebih jauh berusaha mempengaruhi PPMI, kenyataan ini menyebabkan perseteruan sengit antara CGMI dengan HMI, terutama dipicu karena banyaknya jabatan kepengurusan dalam PPMI yang direbut dan diduduki oleh CGMI dan juga GMNI-khususnya setelah Konggres V tahun 1961. Persaingan ini mencapai puncak nantinya tatkala terjadi G30S/PKI.
Pada masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965), seiring dengan upaya pemerintahan Soekarno untuk mengubur partai-partai, maka kebanyakan organisasi mahasiswa pun membebaskan diri dari afiliasi partai dan tampil sebagai aktor kekuatan independen, sebagai kekuatan moral maupun politik yang nyata. Tragedi nasional pemberontakan G30S/PKI dan kepemimpinan nasional yang mulai otoriter akhirnya menyebabkan Demokrasi Terpimpin mengalami keruntuhan.
Mahasiswa membentuk Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) tanggal 25 Oktober 1966 yang merupakan hasil kesepakatan sejumlah organisasi yang berhasil dipertemukan oleh Menteri Perguruan Tinggi dan Ilmu Pendidikan (PTIP) Mayjen dr. Syarief Thayeb, yakni HMI, PMII, Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), Sekretariat Bersama Organisasi-organisasi Lokal (SOMAL), Mahasiswa Pancasila (Mapancas), dan Ikatan Pers Mahasiswa (IPMI). Tujuan pendiriannya, terutama agar para aktivis mahasiswa dalam melancarkan perlawanan terhadap PKI menjadi lebih terkoordinasi dan memiliki kepemimpinan.
Munculnya KAMI diikuti berbagai aksi lainnya, seperti Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia (KAPI), Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI), Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia (KASI), dan lain-lain.
5. Gerakan Mahasiswa 1974
Realitas berbeda yang dihadapi antara gerakan mahasiswa 1966 dan 1974, adalah bahwa jika generasi 1966 memiliki hubungan yang erat dengan kekuatan militer, untuk generasi 1974 yang dialami adalah konfrontasi dengan militer yang berposisi sebagai pendukung kemapanan. Sebelum gerakan mahasiswa 1974 meledak, bahkan sebelum menginjak awal 1970-an, sebenarnya para mahasiswa telah melancarkan berbagai kritik dan koreksi terhadap praktek kekuasaan rezim Orde Baru.namun meskipun demikian pada umumnya kepercayaan terhadap rezim yang berkuasa tetap ada.
Tetapi, kesabaran mahasiswa mulai menuju titik batasnya setelah penantian akan terkabulnya cita-citanya perubahan yang dijanjikan tidak mendapatkan respon yang sewajarnya. Diawali dengan reaksi terhadap kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM), aksi protes lainnya yang paling mengemuka disuarakan mahasiswa adalah tuntutan pemberantasan korupsi. Lahirlah, selanjutnya apa yang disebut gerakan “Mahasiswa Menggugat” yang dimotori Arif Budiman, dkk yang program utamanya adalah aksi pengecaman terhadap kenaikan BBM, dan korupsi. Menyusul aksi-aksi lain dalam skala yang lebih luas, pemuda dan mahasiswa kemudian mengambil inisiatif dengan membentuk Komite Anti Korupsi (KAK). Terbentuknya KAK ini dapat dilihat merupakan reaksi kekecewaan mahasiswa terhadap tim-tim khusus yang disponsori pemerintah, seperti Tim Pemberantasan Korupsi (TPK).
Berbagai borok pembangunan dan demoralisasi perilaku kekuasaan rezim Orde Baru terus mencuat. Menjelang Pemilu 1971, pemerintah Orde Baru telah melakukan berbagai cara dalam bentuk rekayasa politik, untuk mempertahankan dan memapankan status quo dengan mengkooptasi kekuatan-kekuatan politik masyarakat antara lain melalui bentuk perundang-undangan. Misalnya, melalui undang-undang yang mengatur tentang pemilu, partai politik, dan MPR/DPR/DPRD.
Akibat dari permainan rekayasa dan kebijakan kooptasi tersebut, muncul berbagai pernyataan sikap ketidakpercayaan dari kalangan masyarakat maupun mahasiswa terhadap sembilan partai politik dan Golongan Karya sebagai pembawa aspirasi rakyat. Sebagai bentuk protes akibat kekecewaan, mereka mendorang munculnya Deklarasi Golongan Putih (Golput) pada tanggal 28 Mei 1971 yang dimotori oleh Arif Budiman, Adnan Buyung N, Asmara Nababan, dkk. Dalam tahun 1971, mahasiswa juga telah melancarkan berbagai protes terhadap pemborosan anggaran negara yang digunakan untuk proyek-proyek eksklusif yang dinilai tidak mendesak dalam pembangunan, misalnya terhadap proyek pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (TMII) disaat Indonesia haus akan bantuan luar negeri.
Protes terus berlanjut. Tahun 1972, dengan isu harga beras naik, berikutnya tahun 1973 selalu diwarnai dengan isu korupsi sampai dengan meletusnya peristiwa Malari tahun 1974. Gerakan mahasiswa di Jakarta mngajukan isu ”ganyang korupsi” sebagai salah satu tuntutan “Tritura Baru” disamping dua tuntutan lainnya Bubarkan Asisten Pribadi dan Turunkan Harga; sebuah versi terakhir Tritura yang muncul setelah versi koran Mahasiswa Indonesia di Bandung sebelumnya.
Terlepas dari semua distorsi mengenai kisah gerakan mahasiswa 1974, antara lain: tidak adanya perubahan monumental yang ditinggalkan, gerakan mahasiswa yang ditunggangi, konflik dan konspirasi elit di pusat kekuasaan versi Jenderal Sumitro versus Ali Moertopo, dll bagaimana pun harus diakui bahwa perjuangan mahasiswa 1974 telah menjadi sebuah episode yang bersejarah.
6. Gerakan Mahasiswa 1978
Setelah peristiwa Malari, hingga tahun 1975 dan 1976, berita tentang aksi protes mahasiswa nyaris sepi. Mahasiswa disibukkan dengan berbagai kegiatan kampus disamping kuliah sebagain kegiatan rutin, dihiasi dengan aktivitas kerja sosial, Kuliah Kerja Nyata (KKN), Dies Natalis, acara penerimaan mahasiswa baru, dan wisuda sarjana. Meskipun disana-sini aksi protes tetap ada namun aksi-aksi itu pada umumnya tidak lagi gaung yang berarti.
Menjelang dan terutama saat-saat antara sebelum dan setelah Pemilu 1977, barulah muncul kembali pergolakan mahasiswa yang berskala masif. Berbagai masalah penyimpangan politik diangkat sebagai burning isu, misalnya soal pemilu mulai dari pelaksanaan kampanye, sampai penusukan tanda gambar, pola rekruitmen anggota legislatif, pemilihan gubernur dan bupati di daerah-daerah, strategi dan hakekat pembangunan, sampai dengan tema-tema kecil lainnya yang bersifat “lokal”. Awalnya, pemerintah berusaha untuk melakukan pendekatan terhadap mahasiswa, maka pada tanggal 24 Juli 1977 dibentuklah Tim Dialog Pemerintah yang akan “berkampanye”di berbagai perguruan tinggi. Namun demikian , upaya tim ini ditolak oleh mahasiswa.
Mahasiswa bukan tidak memahami ataupun menyadari berbagai risiko buruk yang bakal dialami akibat gerakan protes mereka. Justru karena itulah, untuk menjaga agar dampak gerakan tidak mengulangi kembali malapetaka 1974, mahasiswa mempertahankan gerakan aksi mereka sebagai gerakan moral semata. Artinya, bahwa gerakan mereka lebih menonjolkan perannya sebagai kekuatan moral dan kontrol kritis terhadap berbagai penyimpangan kekuasaan, dan bukan sebagai aksi yang berorientasi politik praktis, serta menghindarkan pengaruh vested interest kelompok politik tertentu yang ingin memperalat atau “mengendarai” gerakan mahasiswa.
Pada titik ini ada yang menarik untuk dicatat yaitu terjadinya pendudukan militer atas kampus-kampus itu; disamping penyebabnya adalah karena mahasiswa dianggap telah melakukan “pembangkangan politik”, penyebab lain sebenarnya adalah karena gerakan mahasiswa 1978 lebih banyak berkonsentrasi dalam melakukan aksi diwilayah kampus. Jadi, karena gerakan mahasiswa tidak terpancing keluar kampus untuk mennghindari seperti tahun 1974, maka akhirnya mereka diserbu militer, malahan dengan cara yang brutal.
Akhir cerita, Soeharto terpilih untuk ketiga kalinya dan tuntutan mahasiswa pun tidak membuahkan hasil. Meski demikian, perjuangan gerakan mahasiswa 1978 telah meletakkan sebuah dasar sejarah, yakni tumbuhnya keberanian mahasiswa untuk menyatakan sikap terbuka untuk menggugat bahkan menolak kepemimpinan nasional.
7. Gerakan Mahasiswa di Era NKK/BKK
Setelah gerakan mahasiswa 1978, praktis tidak ada gerakan besar yang dilakukan mahasiswa selama beberapa tahun akibat diberlakukannya konsep Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK) oleh pemerintah secara paksa.
Kebijakan NKK dilaksanakan berdasarkan SK No.0156/U/1978 sesaat setelah Dooed Yusuf dilantik tahun 1979. Konsep ini mencoba mengarahkan mahasiswa hanya menuju pada jalur kegiatan akademik, dan menjauhkan dari aktivitas politik karena dinilai secara nyata dapat membahayakan posisi rezim. Menyusul pemberlakuan konsep NKK, pemerintah dalam hal ini Pangkopkamtib Soedomo melakukan pembekuan atas lembaga Dewan Mahasiswa, sebagai gantinya pemerintah membentuk struktur keorganisasian baru yang disebut BKK. Berdasarkan SK menteri P&K No.037/U/1979 kebijakan ini membahas tentang Bentuk Susunan Lembaga Organisasi Kemahasiswaan di Lingkungan Perguruan Tinggi, dan dimantapkan dengan penjelasan teknis melalui Instruksi Dirjen Pendidikan Tinggi tahun 1978 tentang pokok-pokok pelaksanaan penataan kembali lembaga kemahasiswaan di Perguruan Tinggi.
Kebijakan BKK itu secara implisif sebenarnya melarang dihidupkannya kembali Dewan Mahasiswa, dan hanya mengijinkan pembentukan organisasi mahasiswa tingkat fakultas (Senat Mahasiswa Fakultas-SMF) dan Badan Perwakilan Mahasiswa Fakultas (BPMF). Namun hal yang terpenting dari SK ini terutama pemberian wewenang kekuasaan kepada rektor dan pembantu rektor untuk menentukan kegiatan mahasiswa, yang menurutnya sebagai wujud tanggung jawab pembentukan, pengarahan, dan pengembangan lembaga kemahasiswaan.
Dengan konsep NKK/BKK ini, maka peranan yang dimainkan organisasi intra dan ekstra kampus dalam melakukan kerjasama dan transaksi komunikasi politik menjadi lumpuh. Ditambah dengan munculnya UU No.8/1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan maka politik praktis semakin tidak diminati oleh mahasiswa, karena sebagian Ormas bahkan menjadi alat pemerintah atau golongan politik tertentu. Kondisi ini menimbulkan generasi kampus yang apatis, sementara posisi rezim semakin kuat.
Sebagai alternatif terhadap suasana birokratis dan apolitis wadah intra kampus, di awal-awal tahun 80-an muncul kelompok-kelompok studi yang dianggap mungkin tidak tersentuh kekuasaan refresif penguasa. Kenyataannya, kelompok studi lebih berfungsi sebagai information actions dengan tujuan the distribution of critical information bagi mahasiswa. Dalam perkembangannya eksistensi kelompok ini mulai digeser oleh kehadiran wadah-wadah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang tumbuh subur pula sebagai alternatif gerakan mahasiswa.
Perbedaan kedua bentuk wadah ini adalah : jika kelompok studi merupakan bentuk pelarian dari kepengapan kampus dengan ciri gerakannya yang bersifat teoritis, maka LSM menjadi tempat pelarian mahasiswa yang memilih jalur praktis. Dalam perkembangan berikutnya bermunculan pula berbagai wadah-wadah lain berupa komite-komite aksi untuk merawat kesadaran kritis mahasiswa. Beberapa kasus “lokal” yang disuarakan LSM dan komite aksi mahasiswa antara lain: kasus tanah waduk Kedung Ombo, Kacapiring, korupsi di Bapindo, penghapusan perjudian melalui Porkas/TSSB/SDSB, dan lain sebagainya.
Timbul beberapa pertanyaan mengapa gerakan mahasiswa umumnya hanya mengusung agenda isu lokal dan cenderung marjinal ? mungkin jawabannya adalah :
1.       Ketidakberanian untuk menyentuh masalah yang dinilai terlalu sensitif,dan bebannya berat secara politis.
2.       Ketidaksanggupan menangkap dan mengungkapkan masalah-masalah fundamental yang lebih signifikan terutama yang bersifat politik nasional sebagai burning issue.
3.       Strategi mahasiswa dengan mempertimbangkan kondisi struktural sistem politik Orde Baru yang terlalu mudah bertindak represif.
Jawaban-jawaban tersebut sangat terbuka untuk diperdebatkan, tetapi ada efek lain yang tampaknya harus diperhitungkan,bahwa justru dengan kecenderungan mengangkat isu-isu lokal dan bergerak di wilayah pinggiran itu, disadari atau tidak mahasiswa telah melakukan revitalisasi orientasi model pendekatan dengan membangkitkan kesadaran dan kepercayaan diri rakyat agar mempertahankan dan memperjuangkan hak-hak individu dan sosialnya.
8. Gerakan mahasiswa 1990
Memasuki awal tahun 1990-an, di bawah Mendikbud Fuad Hasan kebijakan NKK/BKK dicabut dan sebagai gantinya keluar Pedoman Umum Organisasi Kemahasiswaan (PUOK). Melalui PUOK ini ditetapkan bahwa organisasi kemahasiswaan intra kampus yang diakui adalah Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi (SMPT), yang didalamnya terdiri dari Senat Mahasiswa Fakultas (SMF) dan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM).
Dikalangan mahasiswa secara kelembagaan dan personal terjadi pro kontra, menamggapi SK tersebut. Oleh mereka yang menerima, diakui konsep ini memiliki sejumlah kelemahan namun dipercaya dapat menjadi basis konsolidasi kekuatan gerakan mahasiswa. Argumen mahasiswa yang menolak mengatakan, bahwa konsep SMPT tidak lain hanya semacam hiden agenda untuk menarik mahasiswa ke kampus dan memotong kemungkinan aliansi mahasiswa dengan kekuatan di luar kampus. Dalam perkembangan kemudian, banyak timbul kekecewaan di berbagai perguruan tinggi karena kegagalan konsep ini dalam eksperimentasi demokrasi. Mahasiswa menuntut organisasi kampus yang mandiri, bebas dari pengaruh korporatisasi negara termasuk birokrasi kampus. Sehingga, tidaklah mengherankan bila akhirnya berdiri Dewan Mahasiswa di UGM tahun 1994 yang kemudian diikuti oleh berbagai perguruan tinggi di tanah air sebagai landasan bagi pendirian model organisasi kemahasiswaan alternatif yang independen.
Dengan dihidupkannya model-model kelembagaan yang lebih independen, meski tidak persis serupa dengan Dewan Mahasiswa yang pernah berjaya sebelumnya upaya perjuangan mahasiswa untuk membangun kemandirian melalui SMPT, menjadi awal kebangkitan kembali mahasiswa ditahun 1990-an.
9. Gerakan Mahasiswa 1998
Lahirnya gerakan mahasiswa 1998 dengan segala keberhasilannya meruntuhkan kekuasaan rezim orde baru, bagaimanapun merupakan akibat dari akumulasi ketidakpuasan dan kekecewaan politik yang telah bergejolak selama puluhan tahun dan akhirnya “meledak”.
Secara obyektif situasi pada saat itu, sangat kondusif bagi gerakan mahasiswa berperan sebagai agen perubahan. Krisis legitimasi politik yang sudah diambang batas, justru terjadi bersamaan dengan datangnya badai krisis moneter di berbagai sektor. Di sisi lain secara subyektif, gerakan mahasiswa 1998 telah belajar banyak dari gerakan 1966 dengan mengubah pola gerakan dari kekuatan ekslusif ke inklusif dan menjadi bagian dari kekuatan rakyat.
Sasaran dari tuntutan “Reformasi” gerakan mahasiswa dan kelompok-kelompok lain yang beroposisi terhadap rezim Orde Baru, antara lain adalah perubahan kepemimpinan nasional. Soeharto harus diruntuhkan dari kekuasaan, tidak akan ada reformasi selama Soeharto masih berkuasa. Namun demikian, kenyataan menunjukkan suara-suara kritis yang menuntut perubahan, tidak mendapatkan jawaban sebagaimana yang diharapkan dari rezim yang berkuasa, terlebih oleh Golongan Karya (Golkar) yang dengan enteng mencalonkan kembali Soeharto. Menjelang pelaksanaan Sidang Umum MPR 1998, dari kalangan tokoh-tokoh kritis mengajukan calon alternatif Presiden maupun Wakil Presiden, antara lain: Amien Rais, Megawati Soekarnoputri, dan Emil Salim.
Kenyataan menunjukkan, calon-calon tandingan versi masyarakat tidak mendapatkan tanggapan dari kekuatan politik di MPR, Soeharto dipilih kembali sebagai Presiden dan B.J. Habibie sebagai Wakil Presiden. Aksi-aksi mahasiswa yang marak mengajukan protes dan keprihatinan, seolah-olah dianggap angin lalu, sedangkan hasil-hasil dialog dengan berbagai fraksi menuntut agenda Reformasi hanya “ditampung” dalam artian kasar = ditolak. Berbagai kontroversi kemudian timbul dimasyarakat, berkenaan dengan pengalihan kekuasaan ini. Pertama, pandangan yang melihat hal itu sebagai proses inkonstitusional dan sebaliknya pandangan kedua, yang menganggapnya sudah konstitusional. Sikap ABRI terhadap proses peralihan ini secara formal adalah mendukung, lalu bagaiman dengan mahasiswa ?
Menyambut turunnya Soeharto, sejenak mahasiswa benar-benar diliputi kegembiraan. Perjuangan mereka satu langkah telah berhasil,tetapi kemudian timbul keretakan di antara kelompok-kelompok mahasiswa mengenai sikap mahasiswa terhadap peralihan kekuasaan dari Soeharto ke Habibie. Berhadapan dengan peristiwa peralihan ini mahasiswa tidak siap, mereka hanya dipersatukan oleh isu utama perlunya Soeharto dipaksa untuk mengundurkan diri. Soal yang terjadi kemudian, agaknya jauh dari antisipasi mahasiswa dan pro reformasi.
Tetapi bagaimanapun, mahasiswa 1998 melalui perjuangannya telah memberikan sesuatu hal yang monumental bagi bangsa Indonesia untuk menciptakan tatanan kenegaraan yang lebih baik di masa depan.
Satu hal yang harus diingat, Reformasi Total merupakan sebuah proses yang tidak sekali jadi, tetapi membutuhkan waktu dan political will yang sungguh-sungguh dari pemegang kekuasaan. Karena itu, kontrol kritis dan tekanan politik dari mahasiswa harus tetap ada di masa sekarang dan akan datang.

C.    KESIMPULAN
Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa telah terjadi perubahan dalam pergerakan mahasiswa mulai dari masa 1908 sampai pada masa 1998. Perubahan terjadi karena ada pengaruh dari pihak pemerintah yang mengurangi kebebasan mahasiswa. Namun mahasiswa tidak pernah putus asa untuk melakukan pergerakan dalam melawan ketidakadilan. Terbukti pada tahun 1998 mahasiswa dapat menjatuhkan pemerintahan orde baru yang sangat otoriter.
Akan tetapi, meskipun perubahan terjadi dalam pergerakan mahasiswa. Namun apa yang menjadi esensi pergerakan mahasiswa tetap tidak memudar, yaitu berfungsi sebagai kekuatan politik dan juga sebagai kontrol sosial disamping fungsi lainnya sebagai agent of changes (agen perubahan).    
DAFTAR PUSTAKA
Kantaprawira, Rusadi. 1992. Sistem Politik Indonesia. Sinar Baru Algensindo: Bandung
Sanit, arbi. 1995. Sistem Politik Indonesia. PT Raja Grafindo Persada: Jakarta