Selasa, 14 Juni 2011

DEMOKRASI DAN POLITIK IDENTITAS

 
DEMOKRASI  DAN  POLITIK  IDENTITAS
Tinjuan Kasus :Flores Dan Minangkabau
Ahmad H Silaban

PENDAHULUAN
            Indonesia merupakan negara yang kaya akan keanekaragaman suku dan etnik, dengan adat serta budaya yang berbeda-beda. Dari Sabang sampai Merauke terdapat sekitar 400 lebih etnis yang memiliki budaya tersendiri. Sebagai masyarakat yang menghargai budaya dan adat istiadat yang ada, maka masyarakat kerap menjalani kehidupan yang berlandaskan budaya yang ada. Proses kehidupan berpolitik pun tidak luput dari pengaruh budaya dari setiap etnis yang ada.

            Proses pengambilan keputusan di negara ini sering dilakukan berdasarkan pendekatan budaya (culture approach). Hal tersebut dilakukan karena banyak para pemikir kita beranggapan bahwa masyarakat lokallah yang mengetahui dengan pasti apa yang mereka butuhkan. Oleh karena itu, kebijakan yang diambil harus berdasarkan pendekatan budaya terhadap masyarakat yang bersangkutan.

            Namun, pada masa orde baru pengambilan keputusan berdasarkan pendekatan budaya mulai tercederai. UU No. 5/1974 yang merumuskan supremasi pusat atas daerah-daerah merupakan awal dari semuanya. UU No. 5/1974 tersebut kemudian disempurnakan oleh UU No. 5/1979 mengenai pemerintahan desa, yang menyeragamkan pemerintahan desa di seluruh Indonesia. Kedua Undang-undang yang saling menyempurnakan tersebut semakin memperkuat cengkeraman pusat terhadap daerah. 

            Melalui kedua UU diatas, Soeharto menerapkan penyeragaman terhadap seluruh desa (konsep Jawa) yang ada di Indonesia. Dengan alasan untuk memperlancar pembangunan nasional, daerah dipaksa untuk bertindak sesuai keputusan dari pemerintah pusat. Kebijakan tersebut juga memaksa pemerintah didaerah untuk meninggalkan sistem pengambilan keputusan yang berdasarkan pendekatan budaya (culture approach). Secara perlahan namun pasti budaya lokal mulai terkikis. Para masyarakat dan elite lokal mulai dicekoki dengan istilah-istilah modernisasi dan demokratisasi, tentunya dengan iming-iming kehidupan yang lebih baik baik nasional maupun internasional.

            Setelah berjalan sekitar lima belas tahun, prospek penyeragaman tersebut ternyata tidak menghasilkan perubahan yang signifikan. Satu hal yang secara pasti didapatkan oleh masyarakat adalah Budaya lokal yang mulai terkikis bahkan hampir hilang. Pembangunan nasional yang semula menjadi tujuan penyeragaman juga tidak tercapai dengan baik.

            Untunglah disela-sela proses pengikisan budaya lokal yang ada, rezim orde baru dibawah kepemimpinan soeharto jatuh pada tahun 1998. Seiring jatuhnya masa orde baru, UU tentang supremasi pusat terhadap daerah dan penyeragaman terhadap desa akhirnya dicabut. Daerah diberikan kembali kebebasan untuk memelihara budaya lokal dan melakkan pengambilan kebijakan yang berdasarkan Pendekatan Budaya.

            Banyak daerah yang menyembut hal tersebut dengan sukacita. Masyarakat di daerah berharap agar budaya mereka dapat dipelihara kembali. Sebab mereka merasa bahwa kehidupan mereka justru lebih baik ketika masih menjaga trsdisionalisme. Pemerintah daerah dan elite lokal pun tidak ketinggalan untuk mencoba menerapkan kembali kebijakan yang berbau Culture Approach. Sumatera Barat dan Flores adalah dua daerah yang termasuk menyambut gembira atas tidak diberlakukannya UU No. 5/1974 dan UU No. 5/1979 tersebut.

            Setelah masuk pada masa reformasi, maka hal yang hangat diperbincangkan oleh pemerintah pusat dan daerah adalah Demokrasi. Menghadapi proses globalisasi dunia, pemerintah Indonesia dipaksa untuk menerapkan sistem demokrasi dengan sungguh-sungguh. Hal tersebut harus dilakuakn agar Indonesia semakin dihargai oleh dunia internasional dan dipermudah dalam urusan diplomasi. Daerah pun kembali dipaksa untuk menerapkan sistem demokrasi. Penerapan ssitem demokrasi diikuti oleh proses desentralisasi yang melahirkan otonomi daerah, dimana para kepala daerah juga akan diberi kebebasan untuk memilih dan menentukan siapa yang layak untuk jadi pemimpin mereka lewat proses Pilkada (Pemilihan Kepala daerah).
            Proses demokrasi yang ingin diterapkan akan berhadapan lagi dengan budaya lokal yang telah mulai dipelihara kembali. Bagaimana perjalanan demokrasi yang berhadapan dengan budaya politik lokal atau sering disebut sebagai Politik Identitas? Satu pertanyaan tersebutlah yang akan dijawab melalui pembahasan pada makalah ini. Namun penulis tidak akan melihat semua daeraqh yang ada di Indonesia. Akan tetapi penulis akan mencoba melihat dua daerah saja, Minangkabau yang mewakili Indonesia Timur dan Flores yang mewakili Indonesia Barat. Untuk lebih jelasnya, penulis akan memaparkannya pada pembahasan berikut ini.        

PEMBAHASAN

A.     Sekilas Tentang Demokrasi
Carter dan Hertz mengkonseptualisasi tujuh ciri demokrasi, yaitu: pembatasan terhadap tindakan pemerintah dengan menjamin terjadinya pergantian pemimpin secara berkala, tertib, damai, melalui alat-alat perweakilan rakyat yang efektif; menghargai sikap toleransi terhadap perbedaan pendapat yang berlawanan; menjamin persamaan di depan hukum yang diwujudkan dengan sikap tunduk kepada Rule of law tanpa membedakan kedudukan politik; kebebasan berpartisipasi dan beroposisi bagi partai politik, organisasi kemasyarakatan, masyarakat dan perorangan termasuk bagi pers dan media massa; penghormatan terhadap hak rakyat untuk memberikan pendapatnya betapapun tampak salah dan tidak poluler; penghargaan terhadap hak-hak minoritas dan perorangan; dan penggunaan cara persuasif dan diskursif ketimbang koersif dan represif.

Sedangkan Robert A. Dahl mengajukan lima kriteria demokrasi, yakni: persamaan hak pilih dalam menentukan keputusan kolektif yang mengikat; partisipasi efektif, yaitu kesempatan yang sama bagi semua warga negara dalam proses pembuatan keputusan secara kolektif; pembeberan kebenaran, yaitu adanya peluang yang sama bagi setiap orang untuk memberikan penilaian terhadap jalannya proses politik dan pemerintahan; kontrol terakhir terhadap agenda, yaitu adanya kekuasaan ekslusif bagi masyarakat untuk menentukan agenda yang harus dan tidak harus diputuskan melalui pemerintahan; dan terliputnya masyarakat dalam kaitannya dengan hukum.


B.       Sekilas Tentang Minangkabau
Minangkabau adalah salah satu etnik yang ada dan tinggal di Provinsi Sumatera Barat yang terkenal akan budaya matrinealnya. Sebenarnya ada dua etnis yang ada di Sumatera Barat, yaitu Etnis Minangkabau dan Etnis Mentawai. Namun etnis minangkabau merupakan etnis yang mayoritas dan sudah terkenal akan budaya politiknya sejak zaman kolonial.  
Sistem pemerintahan yang dianut dan dijalankan di Minangkabau adalah sistem adat. Nagari merupakan suatu simbol pemerintahan adat di Minangkabau. Nagari adalah nama untuk suatu wilayah, yang disebut dengan desa dalam konsep jawa. Nagari dipimpin oleh seorang pemimpin adat yang disebut dengan Penghulu, sebagai eksekutif dalam konsep trias politika. Namun hal yang menarik tentang sistem pemerintahan adat yang ada di Minangkabau, sehingga penulis mengambilnya sebagai contoh kasus dalam pembahasan makalah ini. Sistem adat di Nagari tidak sama dengan sistem adat yang ada di daerah lain. Sistem pemerintahan adat di Minangkabau tidaklah bersifat permanen seperti sistem kerajaan yang ada di Jawa misalnya. Penghulu sebagai pemimpin tertinggi di Nagari tidak bersifas otoriter, artinya kekuasaan sepenuhnya tidak ada di tangan penghulu.

Dalam menajalankan pemerintahannya, penghulu dibantu oleh Badan Perwakilan Nagari (Parlemen/Legislatif dalam konsep trias politika). Badan Perwakilan Nagari dijalankan oleh “Tali Tigo Sapilin, Tali Tigo Sajarangan (Ninik Mamak, Alim Ulama, dan Cerdik Pandai)”.  Hanya saja ada sedikit perbedaan antara Badan Perwakilan Nagari dengan Legislatif, sebab Badan Perwakilan Nagari berfungsi juga sebagai penasehat bagi penghulu. Pergantian Penghulu di Nagari dilakukan secara turun-temurun.

Adat yang dilaksanakan di Nagari sangat berpatokan dengan ajaran Islam, karena hampir semua masyarakat di Minangkabau beragama islam. Hal tersebut tercermin dalam pepatah Nagari yang sangat terkenal, yaitu: Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah, Syarak Mangato, Adat Mamakai, Alam Takambang jadi guru (Adat Bersendikan Syariah, Syariah Bersendikan Kitab Al-Qur’an, Hukum Agama Mengatur, Adat Dipakai, Alam Adalah Guru Bagi Umat Manusia). Oleh karena itu, jika ada masyarakat yang keluar dari islam (murtadz) akan dikeluarkan dari adat dan tidak diakui dalam Nagari. Selain itu juga tidak diakui lagi sebagi orang Minangkabau.


C.       Sekilas Tentang Flores
Flores juga merupakan satu daerah yang menerapkan ssitem adat dalam menjalankan proses pemerintahan. Namun berbeda dengan Sumatera barat yang hanya dihuni oleh dua etnis, Flores memiliki banyak etnis yang juga berbeda dalam hal budaya serta adat istiadatnya. Namun tidak akan semua dibahas dalam makalah ini, melainkan hanya akan mencoba melihat empat suku besar yang terdapat disana. Keempat suku besar tersebut ialah Ama Koten, Ama Kelen, Ama Marang, Ama Hurint. Keempat suku besar inilah yang nantinya berperan dalam menjalankan sistem pemerintahan.

Pembagian kinerja antara keempat suku besar tersebut tercermin juga dalam ritual pengorbanan hewan. Ama Koten bertugas memegang kepala hewan korban, yang artinya bahwa Dia adalah kepala dari ’panitia empat’, tuan tanah, dan memegang kekuasaan dalam kampung (Penghulu dalam konsep Nagari, dan Eksekutif dalam konsep trias politika). Ama Kelen memegang bagian belakang hewan korban, Dialah yang bertugas mengurus hubungan dengan kampung-kampung lainnya dalam mengatur masalah perang dan damai. Ama Marang bertugas membacakan Doa, menceritakan sejarah asal-usul (tutu ranaring usu-asa) untuk mendapat restu (ike kwaat) dari kekuatan leluhur. Dialah yang bertugas menjaga tatanan adat dalam kampung. Ama Hurint bertugas membunuh hewan korban, meneliti urat hati hewan korban untuk meramal suatu kejadian. Ama Hurint dan Ama Marang juga bertugas memberi nasihat atau saran bila terdapat perbedaan pendapat antara Ama Koten dan Ama Kelen, memberi jalan keluar bersama-sama dengan pemuka-pemuka atau tua-tua yang disebut Kelake.      


D.      Hubungan Demokrasi dan Sistem Adat / Politik Identitas
Seiring dengan diterapkannya sitem demokrasi, maka banyak perubahan yang terjadi dalam sistem adat yang ada di Nagari dan Flores. Dalam Nagari misalnya, perubahan terjadi dalam proses pergantian dan pemilihan Penghulu. Jika sebelumnya Penghulu dipilih dan diganti secara turun temurun, maka lain halnya setelah demokrasi diterapkan. Penghulu kini dipilih secara langsung oleh warga Nagari. Jadi siapa saja berhak untuk menjadi Penghulu, hanya saja sangat memperhatikan track recor sebelumnya. Selain dianggap memiliki kecerdasan, harus juga memiliki iman yang bagus baik dalam teori dan implementasinya. Jadi adat Nagari kini telah menerapkan Demokrasi seperti yang ditawarkan oleh pemerintah pusat dalam hal pergantian pemimpin.   
Perubahan juga terjadi dalam tubuh Badan Perwakilan Nagari. Badan Perwakilan Nagari yang semula dijalankan oleh “Tali Tigo Sapilin, Tali Tigo Sajarangan (Ninik Mamak, Alim Ulama, dan Cerdik Pandai)”, sudah bertambah menjadi lima unsur seiring diterapkannya sistem demokrasi yang ditawarkan oleh pemerintah nasional, yakni Ninik Mamak, Alim Ulama, Cerdik Pandai, dan ditambah dengan Bundo Kanduang serta Pemuda. Hanya saja ada sedikit perbedaan antara sistem adat nagari dengan sistem trias politika berkaitan dengan Badan Perwakilan Nagari. Sebab dalam pemerintahan Nagari, Badan Perwakilan Nagari juga berfungsi sebagai penasehat Penghulu.

Sama halnya dengan apa yang terjadi di pemrintahan Nagari, perubahan juga terjadi di dalam sitem pemerintahan di Flores. Sistem adat di Flores juga telah berpadu dengan ssitem demokrasi, meskipun mereka tidak banyak tahu tentang demokrasi. Masyarakat di Flores memang tidak seberuntung masyarakat di Minangkabau. Jarak yang begitu jauh antara pusat negara (Jakarta) dengan Flores membuat masyarakat disana kurang bersentuhan dengan media dan segala perubahan yang terjadi. Akan tetapi mereka sudah mengetahui sedikit tentang demokrasi, bahkan mereka juga mulai menerapkannya. Terbukti bahwa sitema Adat yang mereka jalankan juga tidak bersifat permanen seperti ssitem kerajaan. Proses pergantian pelaku peemrintahan sudah menerapkan sistem demokrasi. Hubungan antara ketua adat dengan masyarakat dan pelaku pemerintahan lainnya semakin disinergikan. Bahwa ketua adat sebagi pemimpin tertinggi tidak mempunyai hak sepenuhnya atas segalanya, akan tetapi sudah bersifat pembagian kekuasaan atas semua unsur yang ada. Masyarakat juga sudah diikutsertakan dalam proses pengambilan keputusan.
 

E.       Nasionalisme dan Budaya Lokal
Secara teoritis proses pembentukan nasionalisme terdiri dari tiga macam. Yang pertama ialah asumsi Primordial, yaitu proses pembentukan nasionalisme yang dibangun oleh nilai-nilai, emosi, perbedaan yang ada (antar etnis, golongan). Yang kedua ialah asumsi By Design, yaitu pembentukan nasionalisme dengan cara dibentuk oleh negara melalui sistem yang diterapkan oleh pemerintah. Hal tersebut pernah dilaksanakan pada zaman orde baru oleh Soeharto dengan cara penyeragaman desa lewat UU No. 5/1974 yang disempurnakan oleh UU No. 5/1979. yang ketiga ialah melalui gerakan modernisasi, yaitu pembentukan nasionalisme melalui proses globalisasi yang telah melihat dan meniru apa yang ada di negara lain khususnya negara yang dianggap sudah maju. 

Jika kita melihat proses pembentukan nasionalisme di Nagari (Minangkabau) dan di Flores maka kita akan sulit untuk menemukan proses pembentukan nasionalisme melalui asumsi By Design, apalagi melalui gerakan modernisasi. Akan tetapi proses pembentukan nasionalisme yang terjadi adalah melalui proses primordial, yakni melalui nilai-nilai, emosi, dan perbedaan.

Proses pembentukan nasionalisme memang pernah dicoba lewat asumsi By Design, yakni pada masa orde baru oleh Soeharto. Namun cara yang diterapkan tersebut tidak berhasil. Bahkan nasionalisme masyarakat semakin dipertanyakan ketika proses By Design tersebut diterapkan.    

PENUTUP
A.     Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan diatas dapat diambil beberapa kesimpulan mengenai hubungan demokrasi dan politik identitas yang trjadi di Flores dan di Minangkabau. Yang pertama, bahwa sistem adat yang diterapkan di nagari dan di flores tidak menghalangi proses pelaksanaan demokrasi. Demokrasi terbukti dapat dipadukan dengan sistem adat yang ada. Sehingga daerah tetap bisa melaksanakan sistem demokrasi yang diterapkan oleh pemerintah pusat tanpa menghilangkan nilai-nilai budaya serta adat istiadat lokal yang ada.
Yang kedua bahwa sistem adat yang kental akan budaya lokal ternyata juga dapat dipadukan dengan agama yang ada. Di Nagari misalnya, sistem adat sangat erat kaitannya dengan sistem syariah islam dalm pelaksanaannya. Di Flores juga demikian, sistem adat dipadukan dengan ajaran katolik sebagai umat mayoritas disana.
Yang ketiga bahwa adat dan budaya lokal yang ada ternyata sangat efektif dalam proses pembentukan nasionalisme, yang akhir-akhir ini mulai memudar di berbagai wilayah.    


B.      Saran
1.      Pemerintah pusatn diharapkan tidak memaksakan diri untuk menerapkan ssitem perpolitikan di daerrah yang sesuai dengan konsep yang ditawarkan oleh pusat.
2.      Pemerintah diharapkan tidak lebih melihat dan menjadikan demokrasi barat sebagai acuan, tetapi harus menerapkan demokrasi yang sesuai dengan budaya lokal seperti yang diterapkan oleh pemerintah daerah di Nagari dan Flores.
3.      Pemerintah dihaarpkan tidak menerapkan asumsi By design dan Gerakan Modernisasi sebagai proses pembentuk nasionalisme. Akan tetapi harus melalui asumsi primordial yang dilakukam lewat pendekatan budaya (Culture Approach).  


REFERENSI
Nordholt, Henk Schulte., dan Gerry Van Klinken. 2007. Politik Lokal di Indonesia. Buku Obor: Jakarta
Zuhro, Siti., dkk. 2009. Demokrasi Lokal. Penerbit Ombak: Yogyakarta



Tidak ada komentar:

Posting Komentar