Senin, 13 Juni 2011

SISTEM KEPARTAIAN DAN SISTEM PEMILU YANG IDEAL DI INDONESIA


SISTEM KEPARTAIAN DAN SISTEM PEMILU
YANG IDEAL DI INDONESIA

Demokrasi pada zaman modern saat sangatlah berbeda dengan demokrasi klasik pada masa Yunani. Demokrasi klasik biasa disebut dengan demokrasi langsung, sebab suara atau aspirasi rakyat didengarkan secara langsung oleh pemerintah. Namun pada masa sekarang, demokrasi langsung sudah tidak bisa dilaksanakan. Hal tersebut karena pertumbuhan penduduk yang sangat signifikan di semua Negara di dunia. Oleh sebab itu, demokrasi yang diterapkan adalah demokrasi tidak langsung. Dimana suara atau aspirasi rakyat disampaikan oleh wakil mereka yang dipilih melalui pemilihan umum.
Aktor yang diutus sebagai wakil tidak dapat dipilih secara aklamasi atau penunjukan. Akan tetapi harus melalui sebuah proses pemilihan, atau biasa disebut melalui pemilihan wakil rakyat (di Indonesia disebut DPR). Indonesia sebagai salah satu negara penganut sistem demokrasi, juga menentuka presiden dan wakil rakyatnya melalui proses pemilihan umum.
Pemilihan umum (Pemilu) di Indonesia dilaksanakan setiap lima tahun sekali, guna memilih kembali presiden beserta wakilnya dan anggota parlemen atau Dewan Perwakilan Rakyat. Pemilihan Umum diikuti oleh beberapa partai yang mendaftar dan lolos verifikasi. Partai yang berhak untuk ikut dalam Pemilu adalah partai yang memenuhi syarat sesuai dengan sistem kepartaian dan sistem Pemilu. Sistem kepartaian dan sistem Pemilu disetiap Negara tidaklah sama. Sebab ada beberapa macam system kepartaian dan juga ssitem Pemilu. Hal tersebut harus disesuaikan dengan sistem politik yang dianut dan kondisi social masyarakat.
Untuk itu, dalam paper ini akan dianalisis mengenai sistem kepartaian dan sistem Pemilu yang ideal untuk Negara Indonesia. Dalam hal ini, yang sesuai dengan sistem politik dan kondisi social masyarakat. Namun karena sistem kepartaian dan sistem Pemilu adalah dua entitas yang berbeda, maka akan dibahas secara terpisah. Yang pertama akan dibahas adalah sistem kepartaian. Hal tersebut karena menurut penulis bahwa sistem Pemilu yang egaliter tidak akan bisa tercapai dalam sistem kepartaian yang hegemonic. Untuk lebih jelasnya akan diuraikan pada bagian berikut ini.
A.   Sistem Kepartaian
Sistem kepartaian merupakan suatu mekanisme interaksi antar partai dalam sebuah sistem politik. Karena tujuan utama dari partai politik adalah untuk mencari dan mempertahankan kekuasaan dalam rangka mewujudkan program yang disusun berdasarkan ideology tertentu. Maka untuk merealisasikan program tersebut, partai-partai politik yang ada berinteraksi dalam suatu sistem kepartaian. Secara klasik, Maurice Duverger menyebutkan ada tiga sistem partai yang dapat mewujudkan interaksi antar partai. Ketiga sistem tersebut ialah one party system (sistem satu partai), two party system (sistem dua partai), dan serta multy party system (sistem banyak partai). Sistem satu partai maksudnya hanya ada satu partai, seperti Partai Komunis di China. Sistem dua partai ialah bahwa ada dua partai dalam Pemilu, seperti Partai Republik dan Demokrat di Amerika Serikat. Sedangkan sistem banyak partai, Pemilu diikuti oleh lebih dari lima partai seperti di Indonesia.
Namun menurut Giovanni Sartori tidak hanya jumlah partai yang perlu diperhatikan dalam system kepartaian, tetapi perlu juga diperhatikan jarak ideologis antar partai. Oleh sebab itu, Sartori mengategorikan sistem kepartaian menjadi tiga, yakni: Predominant party system, moderate pluralism system, serta polarized pluralism system.
Penulis lebih memilih opsi yang ditawarkan oleh Giovanni Sartori untuk diterapkan di Indonesia. Sebab ketiganya merupakan sistem multipartai, sehingga sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia yang heterogen. Namun hal kedua, yakni jarak ideology masih penting untuk diuraikan sebab tidak mungkin Indonesia menganut ketiga sistem yang ditawarkan. Dalam predominant party system, tidak ada jarak ideologi antar partai. Sehingga partai manapun yang menang dalam Pemilu, tidak aka nada perbedaan yang signifikan dalm programnya. Pada moderate pluralism system sudah ada jarak ideology, hanya saja masih relatif sedikit. Sedangkan dalam polarized pluralism system, jumlah partai yang ikut dalam Pemilu cenderung banyak karena kondisi masyarakat yang heterogen. Selain itu jarak ideology sudah sangat berbeda, bahkan terkadang sangat bertentangan antara satu partai dengan partai yang lain.
Dengan melihat dan menganalsis ketiga sistem kepartaian yang ditawarkan oleh Giovanni Sartori tersebut. Penulis menyimpulkan bahwa sistem yang cocok untuk Indonesia adalah polarized pluralism system. Ada beberapa alas an sehingga penulis memilih sistem tersebut. Yang pertama adalah kondisi masyarakat Indonesia yang sangat heterogen. Masyarakat Indonesia terdiri atas ratusan etnis, banyak kelompok, banyak agama dan latar belakang yang beraneka ragam. Setiap kelompok memiliki kebutuhan dan kepentingan yang berbeda, sehingga tidak mungkin dilebur dalam satu partai. Oleh sebab itu, maka jumlah partai harus banyak.
Yang kedua adalah mengenai perbedaan ideologi dalam masyarakat. Masyarakat Indonesia terdiri dari berbagai kelompok, baik itu kelompok suku, kelompok agama maupun kelompok kerja. Setiap kelompok memiliki ideologi yang berbeda pula. Dari segi agama saja misalnya: ada yang berideologi islam, ada yang berideologi Kristen, dan ada juga yang berideologi nasionalis.
Semua masalah tersebut dapat diselesaikan melalui polarisasi dalam kemajemukan. Itulah sebabnya penulis merasa bahwa system kepartaian yang cocok dan ideal untuk diterapkan di Indonesia adalah polarized pluralism system.

B.   Sistem Pemilu
Ada banyak jenis sistem pemilihan umum yang saat ini diimplementasikan di seluruh dunia. Namun secara sederhana, hanya ada tiga sistem pemilihan umum yang dikenal dewasa ini. Ketiga sistem tersebut ialah sistem pemilihan mayoritas plural (plural majority), sistem pemilihan proporsional (representasi), dan sistem pemilihan semi proporsional.
Sistem Pemilu mayoritas plural lebih menekankan pada perwakilan setempat melalui penggunaan distrik pemilihan yang kecil dan beranggota tunggal. Sebaliknya, sistem Pemilu Proporsional menggunakan distrik yang lebih besar dan anggota yang banyak serta hasil yang lebih proporsional. Sedangkan sistem semi proporsional merupakan campuran dari model-model umum dengan model proporsional. Maksudnya sebagian dari badan legislatif dipilih melalui perwakilan proporsional dan sebagian melalui distrik lokal.
Sistem yang pertama yakni sistem pemilihan plural majority, menurut penulis tidak cocok diterapkan di Indonesia. Hal tersebut berkaitan dengan apa yang telah dijelaskan pada uraian sistem kepartaian diatas. Masyarakat Indonesia sangat beraneka ragam latar belakang dan kebutuhannya, sehingga harus diwakili oleh anggota arlemen yang berbeda pula. Sementara dalam sistem pemilihan plural majority, anggota parlemen yang terpilih adalah tunggal. Wakil tunggal tidak akan bisa mewakili aspirasi atau kebutuhan yang beraneka ragam.
Sistem pemilihan proporsional juga menurut penulis kurang sesuai untuk diterapkan di Indonesia. Dalam sistem proporsional, perolehan suara partai secara nasional akan sama dengan perolehan kursi di parlemen. Hal tersebut sangat berbahaya apabila suara sebuah partai secara nasional lebih dari 50 persen, yang juga akan diikuti oleh kursi parlemen yang lebih dari 50 persen. Suara atau aspirasi partai atau wakil rakyat lain tidak akan terakomodasi secara baik. Hal tersebut karena partai pemenang pemilu akan tetap menang juga bila diadakan voting dalam menentukan suatu kebijakan. Sehingga kebijakan yang akan diambil berpotensi untuk tujuan kepentingan kelompok atau partai yang menang.
Berdasarkan uraian tersebut, maka sistem yang cocok untuk diterapkan di Indonesia adalah sistem semi proporsional. Sistem ini merupakan gabungan antara sistem mayoritas plural dan sistem proporsional. Dalam sistem ini, terdapat daftar-daftar calon seperti pada sistem proporsional yang digabungkan dengan sistem distrik plural majority. Melalui sistem ini, maka kemungkinan terpilihnya calon legislatif yang kuat dari kaum minoritas. Dalam sistem semi proporsional, yang akan menjadi anggota legislatif terpilih adalah mereka yang memperoleh suara terbanyak, bukan yang bernomor urut kecil. Melalui sistem ini pulalah, sebuah partai akan memiliki daerah basis massa yang absolute. Hal tersebut karena sistem semi proporsional memberi peluang untuk terpilihnya lebih dari satu calon dari satu partai dalam saru distrik. Itulah beberapa alasan, mengapa penulis berpendapat bahwa sistem semi proporsional-lah yang paling sesuai untuk diterapkan di Indonesia.



Referensi :
1.    Sistem Politik Indonesia. Drs. Arbi Sanit (1995, Raja Grafindo Persada)
2.    Perihal Ilmu Politik: Sebuah Bahasan Memahami Ilmu Politik. Leo Agustino (2007, Graha Ilmu)
3.    Pengantar Ilmu Politik: Wawasan Pemikiran dan Kegunaannya. Drs. T. May Rudy, S.H (1993, Edisi Revisi, Refika Aditama Bandung)

1 komentar: