Senin, 13 Juni 2011

Pemikiran Politik Al Maududi

PENDAHULUAN
Sejak masa kelahirannya sekitar abad keenam, islam terus mengalami perkembangan baik dari segi jumlah penganut maupun pemikiran yang dianut dan diterapkan dalam menjalani kehidupan. Namun dalam bentuk pemikiran politik ataupun menyangkut hal pemerintahan, baru muncul ketika Nabi Muhammad hijrah dari Mekkah ke Madinah dan membentuk pemerintahan disana. Nabi Muhammad membentuk negara Madinah dan diangkat sebagai kepala negara atau presiden. Beliau memerintah dengan menerapkan konsep islam (Khilafah), namun tetap menghargai masyarakat yang tidak beragama islam. Setelah beliau wafat, kepemimpinan di Madinah digantikan oleh sahabat yang kemudian disebut dengan masa Al Khulafa Ar-Rasyidin. Masa tersebut berlangsung cukup lama dan dipimpin oleh empat khalifah terkemuka yaitu Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan yang terakhir adalah Ali bin Abu Thalib. Setelah masa Al Khulafa Ar-Rasyidin berakhir karena dianggap tidak lagi mengutamakan konsep islam, maka masuklah masa ketiga kejayaan islam yaitu Bani Umayah, Bani Abbasiyah, dan Turki Utsmany. Ketiga pemerintahan tersebut juga memimpin dunia islam dengan ciri khas tersendiri dan berakhir pula pada masanya karena dianggap sudah bermasalah.
Jatuhnya Khilafah Turki Utsmaniyah pada tgl 3 Maret 1924 telah mengakhiri kejayaan islam. Khilafah Utsmaniyah barakhir sejalan dengan kencangnya tuntutan kemerdekaan di berbagai negara kolonial yang berpenduduk mayoritas muslim, seperti negara yang ada di kawasan Asia Tenggara, Afrika Utara, Mesir, negara-negara Teluk, Asia Selatan, dan lain-lain. Negara-negara kolonial melihat bahwa kekuasan Turki Utsmany yang kuat menguasai Timur Tengah dan negara-negara “Eropa Timur” karena kekuatan Khalifah yang amat tinggi. Khilafah amat berkaitan dengan kekuasaan, kepemimpinan, al-Imam al-A’zham, pemimpin besar.
Ada tiga kelompok pemikir Muslim dalam memaknai negara khilafah. Pertama, menolak sama sekali Islam memiliki konsep negara dalam Islam, seperti dikemukakan oleh Thaha Husein dan Ali Abdurraziq dalam karyanya, Al-Islam wa Ushul al-Hukmi. Teori politiknya disamakan dengan teori politik barat yang tidak mengakui sama sekali agama berkiprah dalam politik. Mereka pada hakikatnya menyamakan Islam dengan Nasrani. Kedua, Islam memiliki nilai-nilai pemerintahan yang terkandung di dalamnya, seperti dikemukakan oleh ulama Mesir, penulis Hayatu Muhammad, yaitu Muhammad Husein Haikal; ketiga, mengharuskan kembali ke masa Nabi dan para Khulafa Rasyidin, seperti dikemukakan Hasan Al-banna, Sayyid Qutub, Syaikh Rasyid Ridha, dan Abu al-A'la al-Mududi, bahkan dikehendaki agar kekhilafahan juga ditegakkan kembali, seperti dikemukakan oleh Taqiyuddin al-Nabhani.
Perkembangan dunia islam tersebut juga tak luput dari pemikiran para tokoh islam yang hidup pada masanya masing-masing. Para pemikir islam telah menyumbangkan idenya sejak zaman klasik, pertengahan, bahkan sampai pada zaman modern atau kontemporer. Namun pada makalah ini, penulis tidak akan membahas semua masa dengan tokohnya. Akan tetapi penulis hanya akan mencoba membahas bagaimana pemikiran politik islam pada masa kontemporer.
Pemikiran politik islam kontemporer diwakili oleh beberapa tokoh islam terkemuka seperti Afghani, Abduh, Ridha, Ali Abd Al-Rasiq, Al-Ikhwan Al-Muslimin, Maududi, Mohammad Husain Haikal, dan masih banyak pemikir lainnya. Para tokoh tersebut memiliki konsep atau pemikiran yang berbeda tentang mengatur sebuah negara dan masyarakat, meskipun diantaranya ada terdapat perbedaan satu sama lain. Namun makalah ini juga tidak akan membahas semua pemikiran tokoh tersebut. Melainkan hanya akan membahas pemikiran politik satu tokoh saja, yaitu pemikiran politik Al Maududi.
Pada pembahasan makalah ini penulis akan mencoba melihat seutuhnya pemikiran politik Maududi. Penulis akan mencoba memaparkan bagaimana sebenarnya konsep politik yang ditawarkan oleh Maududi. Ada tiga konsep politik utama yang akan diuraikan dan dianalisis oleh penulis, dimana konsep tersebut pernah dikomentari oleh Maududi lewat ide-ide cemerlangnya. Ketiga masalah yang akan dibahas tersebut ialah Negara, Masyarakat, dan Kekuasaan. Penulis akan membahas dan menganalisis bagaimana sebenarnya konsep negara, masyarakat, dan kekuasaan yang ditawarkan oleh pemikir politik islam kontemporer tersebut.

PEMBAHASAN
A.    Riwayat Maududi
Abu al-A'la Maududi merupakan salah seorang ulama abad ke-20 dan penggagas Jamaat e-Islami (Partai Islam). Maududi merupakan seorang ahli filsafat, sastrawan, dan aktivis yang aktif dalam pergerakan dan perjuangan Islam di seluruh dunia. Abu al-A’la al-Maududi mendapat ilham dari perjuangan Sayyid Qutb di Mesir yaitu Jamaah al-Ikhwan al-Muslimun. Sebagaimana Sayyid Qutb, Maududi merupakan tokoh perjuangan Islam seluruh dunia.
Maududi, lahir pada 3 Rajab 1321 H (25 September 1903 M) di Aurangabad. Ayah Abu al-A’la al-Maududi ialah Ahmad Hasan yang lahir pada 1855 M, anak bungsu dari 3 kakak beradik. Ia mendapat pendidikan di Madrasah Furqaniyah, sebuah sekolah tinggi terkenal di Hyderabad, bukan sekolah Islam bandar Hyderabad (sekarang Maharashtra) negeri, India. Kemudian melanjutkan pelajaran di Dar al-Ulum di Hyderabad. Beliau mahir berbahasa Arab, bahasa Persi, bahasa Inggris, dan bahasa Urdu.
Tahun 1918 ketika usia 15 tahun, ia mulai bekerja sebagai wartawan dalam surat kabar berbahasa Urdu untuk mencukupi kehidupannya. Tahun 1920, ia berprofesi sebagai editor surat kabar Taj, yang diterbitkan di bandar Jabalpore (sekarang negeri Madhya Pradesh), India. Tahun 1921, Maulana Maududi pindah ke Delhi bekerja sebagai editor surat kabar Muslim (1921-1923), dan kemudian editor al-Jam’iyat (1925-1928), yang diterbitkan oleh Jam’iyat-i ‘Ulama-i Hind, sebuah partai politik. Hasil kepiawaiannya sebagai editor, al-Jam’iyat menjadi surat kabar utama untuk orang Islam di Asia Selatan (India, Pakistan, Bangladesh , Sri Lanka dan Maldive).
Maulana Maududi terlibat membentuk Pergerakan Khilafah dan Tahrik- al Hijrat, yaitu Persatuan Asia Selatan yang menentang penjajahan kolonial Inggris. Beliau memprovokatori Muslim India berhijrah ke Afghanistan untuk menentang pemerintahan British. Zaman itu, Maulana Maududi mulai menterjemahkan buku berbahasa Arab dan bahasa Inggris ke bahasa Urdu. Beliau juga telah menulis buku berjudul al-Jihad fi al-Islam -Jihad dalam Islam, diterbitkan secara berkala dengan nama al-Jam’iyat tahun 1927. Tahun 1933, Maulana Maududi menjadi editor majalah bulanan Terjemah al-Qur'an. Bidang penulisan beliau ialah tentang Islam, konflik antara Islam dengan Imperialisme dan modernisasi. Beliau mengemukakan penyelesaian Islam dan Islam ada jawaban bagi setiap permasalahan masyarakat Islam yang dijajah.
Bersama dengan ahli filsuf dan ulama Muhammad Iqbal, Maududi menggagas pusat pendidikan Darul-Islam di bandar Pathankot di wilayah Punjab. Pusat pendidikan ini bertujuan melahirkan pelajar yang mempunyai falsafah politik Islam. Maulana Maududi mengkritik habis konsep-konsep Barat seperti nasionalisme, pluralisme dan feminisme dimana semua ide ini adalah alat Barat untuk menjajah umat Islam. Beliau menegaskan umat islam untuk bisa mandiri, jihad sehingga berjaya menegakkan negara Islam yang syumul. Maududi telah menterjemah dan menafsirkan al-Qur'an kedalam bahasa Urdu dan menulis banyak artikel berkenaan dengan udang-undang Islam dan kebudayaan masyarakat Islam.
Tahun 1941, Maulana Maududi mendirikan organisasi Jamaat-e-Islami untuk mengembangkan Islam sebagai satu cara hidup di Asia Selatan. Ia terpilih sebagai pemimpin Jamaat Islami dan memegang jabatan itu sampai 1972. Sebelumnya tahun 1953, Maududi pernah membuat tulisan yang mengkritik tajam Ahmadiyah. Tulisan ini kemudian menimbulkan demo dan rusuh di Pakistan. Mahkamah militer menjatuhi hukuman mati ke Maududi. Tapi kemudian militer membatalkan hukuman mati kepadanya. Pada 22 September, 1979, Maududi meninggal dunia pada usia 76 tahun di Buffalo, New York.
Semasa hidupnya Maududi menulis puluhan buku dan ratusan makalah atau tulisan lepas. Ulama-ulama di dunia Islam, bahkan orientalis pun mengakui kecendekiawanannya. Ia dan ulama-ulama Pakistan pernah konflik dengan Fazlurrahman dan menjadikan Fazlurrahman tidak betah tinggal di Pakistan dan akhirnya pindah ke Amerika. Puluhan karyanya menjadi rujukan kaum cendekia Islam. Diantaranya adalah: Tafhim al-Qur’an, al Jihad fil Islam, Islamic Law and Constitution, Islamic Way of Life, Economic System of Islam, Social System of Islam, Human Rights in Islam, Qadiani Problem, dan lain-lain.

B.    Negara
Ada tiga dasar keyakinan atau anggapan yang melandasi pikiran-pikiran Maududi tentang kenegaraan menurut islam, yaitu sebagai berikut:
1          Islam adalah suatu agama yang paripurna, lengkap dengan petunjuk untuk mengatur semua segi kehidupan manusia, termasuk kehidupan poitik dengan arti bahwa didalam islam juga terdapat sistem politik. Oleh sebab itulah beliau menekankan bahwa negara islam tidak perlu meniru-niru sistem politik yang diterapkan di dunia barat. Cukup kembali kepada sistem politik islam, dengan acuan menunjuk pada masa Al Khulafa Al-Rasyidin sebagai contoh kenegaraan islam.
2          Kekuasaan tertinggi, yang dalam istilah politik disebut kedaulatan ada pada Allah dan umat manusia hanyalah pelaksana atas kedaulatan Allah tersebut sebagai khalifah Allah di bumi. Oleh karenanya khalifah sebagai pelaksana harus tunduk kepada Al-Qur’an dan sunnah nabi, dan tidak boleh ada gagasan tentang kedaulatan rakyat seperti yang ada di dunia barat. Maka yang berhak untuk menjadi seorang khalifah hanyalah laki-laki atau perempuan muslim.
3          Sistem politik islam adalah suatu sistem universal dan tidak mengenal batas-batas dan ikatan-ikatan geografi, bahasa, dan kebangsaan.
Berdasarkan tiga landasan berpikir diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa sistem politik yang akan dan harus diterapkan di dunia islam berbeda dengan sistem politik yang ada di barat. Maududi tidak sepakat dengan pemerintahan yang menganut kedaulatan rakyat (inti sistem demokrasi) yang artinya menolak sistem demokrasi, beliau menolaknya berdasarkan dua alasan. Pertama, karena menurutnya kedaulatan tertinggi adalah di tangan Tuhan. Tuhan sajalah yang berhak menjadi pembuat hukum (law giver). Manusia tidak berhak membuat hukum. Kedua, praktik “kedaulatan rakyat” seringkali justru menjadi omong kosong, karena partisipasi politik rakyat dalam kenyataannya hanya dilakukan setiap empat atau lima tahun sekali saat Pemilu. Sedang kendali pemerintahan sehari-hari sesungguhnya berada di tangan segelintir penguasa, yang sekalipun mengatasnamakan rakyat, seringkali malah menindas rakyat demi kepentingan pribadi (Amien Rais, 1988:19-21).
Beliau juga tidak setuju dengan sistem teokrasi seperti yang ada di eropa. Karena menurut beliau sistem teokrasi yang ada di eropa adalah suatu sistem dimana kekuasaan ada ditangan kelas tertentu atau biasanya adalah kelas pendeta. Menurut Maududi kelas pendeta yang memegang kekuasaan akan menyusun perundang-undangan atau hukum untuk rakyat sesuai dengan keinginan atau kepentingan kelas mereka, namun mengatasnamakan Tuhan.
Akan tetapi, meskipun beliau menolak sistem demokrasi dan sistem teokrasi, beliau masih melihat ada sisi positif dari kedua sistem tersebut. Dalam sistem demokrasi misalnya, bahwa kekuasaan (Khilafah) ada di tangan setiap individu kaum Mukmin. Khilafah tidak dikhususkan bagi kelompok atau kelas tertentu. Inilah yang-menurut al-Maududi- membedakan sistem Khilafah dengan sistem kerajaan. Dari sinilah al-Maududi lalu menyimpulkan, “Dan ini pulalah yang mengarahkan Khilafah Islamiyah ke arah demokrasi, meskipun terdapat perbedaan asasi antara demokrasi Islami dan demokrasi Barat…” (Al-Maududi, 1988: 67).
Sedangkan dalam sistem teokrasi, ada satu anasir teokrasi yang diambil al-Maududi, yakni pengertian kedaulatan tertinggi ada di tangan Allah. Dengan demikian, menurut al-Maududi, rakyat mengakui kedaulatan tertingggi ada di tangan Allah, dan kemudian, dengan sukarela dan atas keinginan rakyat sendiri, menjadikan kekuasaannya dibatasi oleh batasan-batasan perundang-undangan Allah SWT. (Al-Maududi, 1988: 67).
Berdasarkan pemahaman tersebut, beliau menawarkan satu konsep baru mengenai sistem politik yang cocok untuk diterapkan di dunia islam. Sistem atau konsep yang beliau tawarkan adalah Teodemokrasi. Konsep itu dituangkan dalam bukunya yang terkenal Al-Khilafah wa al-Mulk (Khilafah dan Kerajaan) yang terbit di Kuwait tahun 1978. Teodemokrasi merupakan akomodasi antara teokrasi yang menekankan kedaulatan pada Tuhan dan demokrasi yang menyebutkan bahwa kekuasaan (khilafah) ada di setiap individu mukmin. Artinya bahwa Teodemokrasi memberikan kedaulatan kepada rakyat, namun kekuasaan tersebut tetap dibatasi oleh norma-norma yang datangnya dari Tuhan. Dengan kata lain, Teodemokrasi adalah kedaulatan rakyat yang berada dibawah pengawasan Tuhan.
Namun dalam bukunya yang lain, yaitu Islamic Law and Constitution (1962: 138-139), al-Maududi menggunakan istilah divine democracy (demokrasi suci) atau popular vicegerency (kekuasaan suci yang bersifat kerakyatan) untuk menyebut konsep negara dalam Islam (Asshidiqie, 1995: 17). Akan tetapi inti konsep yang disampaikan sama saja dengan konsep Teodemokrasi yang ada dalam buku sebelumnya. Jadi tidak ada perbedaan yang signifikan antara kedua istilah dan buku tersebut.

C.    Masyarakat
Karena sistem politik yang dikemukakan oleh Al Maududi (teodemokrasi) adalah sistem yang berdasarkan ideologi, maka pembagian atau pengelompokan masyarakatnya juga berdasarkan ideologi atau agama. Masyarakat yang dimaksud oleh al Maududi terbagi atas dua kelompok, yaitu kelompok islam dan kelompok yang bukan islam atau biasa disebut dzimmi (rakyat yang dilindungi).
Kelompok pertama adalah kelompok islam atau warga negara islam, yang merupakan masyarakat asli yang memiliki hak dan kewajiban yang sempurna sebagai warga negara. Mereka berhak untuk tinggal di negara itu (ketika itu Pakistan), mendapatkan keadilan, dan yang paling penting adalah berhak untuk ikut serta dalam membangun pemerintahan secara langsung yang artinya terjun sebagai politisi baik di tingkat lokal maupun nasional bahkan sampai pada sebagai khalifah.
Kelompok kedua adalah kelompok non islam, yang merupakan masyarakat yang bukan bergama islam (ketika itu mayoritas adalah hindu) atau biasa disebut dengan dzimmi (rakyat yang dilindungi) atau sering juga disebut warga negara nasional. Mereka mendapat perlindungan dari negara sesuai dengan arti sebutannya dan juga mendapatkan hak dari pemerintah, namun berbeda dengan kelompok masyarakat islam. Mereka diberi hak untuk beribadah sesuai dengan ajaran agama mereka masing-masing dengan cara dipimpin oleh pemimpin agama mereka sendiri. Akan tetapi dalam kehidupan lain, mereka harus tunduk terhadap hukum islam. Mereka tidak diperbolehkan untuk ikut dalam menentukan kebijaksanaan dan keputusan politik negara. Mereka hanya diijinkan untuk duduk di pemerintahan sampai pada tingkat lokal kedua atau setingkat kabupaten di Indonesia yang tidak merumuskan atau memutuskan kebijaksanaan politik, dan tidak boleh menempati jabatan-jabatan kunci atau strategis dalam pemerintahan. Selain sisi negatif tersebut ada juga sisi positifnya, bahwa warga negara atau masyarakat yang bukan islam juga tidak diwajibkan untuk ikut membela negara sebagaimana warga negara atau masyarakat islam. Itulah perbedaan mendasar antara warga negara nasional (non muslim / dzimmi) dengan warga negara islam.

D.    Kekuasaan
Dalam beberapa referensi disebutkan bahwa Al Maududi tidak pernah mengakui keberadaan trias politika, seperti yang dicetuskan oleh John Locke di dunia barat. Akan tetapi apa yang ditawarkan oleh beliau pada dasarnya hampir sama dengan konsep trias politika. Dimana ada pembagiann kekuasaan kedalam tiga elemen utama yaitu ahlul halli wal aqdi (lembaga penengah dan pemberi fatwa), ulil amri dalam Al-Qur’an dan umara dalam Haidst (lembaga penegak pedoman-pedoman Tuhan), dan yang ketiga ialah Qadha (lembaga pengadilan hukum Tuhan). Karena pada dasarnya sama, maka dalam beberapa referensi bahkan buku Maududi sendiri penyebutannya tetap menggunakan konsep trias politika. Untuk itu pada makalah ini, penulis juga akan menggunakan penyebutan tiga elemen konsep trias politika.
Legislatif merupakan lembaga yang berdasarkan teminologi fiqh disebut sebagai “lembaga penengah dan pemberi fatwa” (ahlul halli wal aqdi). Cukup jelas bahwa suatu negara yang didirikan dengan dasar kedaulatan de jure Tuhan tidak dapat melakukan legislasi yang bertolak belakang dengan al-Qur’an dan as Sunnah, sekalipun konsensus rakyat menuntutnya.”
Dalam suatu Negara Islam, tujuan sebenarnya dari lembaga eksekutif adalah untuk menegakkan pedoman-pedoman Tuhan yang disampaikan melalui al-Qur’an dan Sunnah serta untuk menyiapkan masyarakat agar mengakui dan menganut pedoman-pedoman ini untuk dijalankan dalam kehidupan mereka sehari-hari. Kata ulil amri dan umara digunakan masing-masing dalam Al-Qur’an dan Hadits untuk menyatakan lembaga eksekutif.
Ruang lingkup lembaga yudikatif (yang dalam terminologi hukum Islam dikenal sebagai qadha) juga disiratkan maknanya oleh pengakuan atas kedaulatan de jure dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Ketika Islam menegakkan negaranya sesuai dengan prinsip-prinsip abadinya, Rasulullah SAW sendirilah yang menjadi hakim pertama negara tersebut, dan beliau melaksanakan fungsi ini dengan sangat selaras dengan hukum Tuhan. Orang-orang yang melanjutkannya tidak memiliki alternatif lain kecuali mendasarkan keputusan mereka pada hukum Tuhan sebagaimana yang telah disampaikan kepada mereka oleh Rasulullah SAW. Setelah ini menurut Al Maududi harus ditekankan bahwa pengadilan-pengadilan hukum dalam suatu Negara Islam ditegakkan untuk menegakkan hukum Ilahi, bukan untuk melanggarnya sebagaimana yang dilakukan dewasa ini di hampir semua negara Muslim.
Selain itu, Al Maududi juga menjelaskan bahwa dalam menjalankan tugasnya baik legislatif, eksekutif maupun yudikatif harus memperhatikan berbagai ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
  1. Kepala Negara yang juga merangkap kepala badan eksekutif atau pemerintah merupakan pimpinan tertinggi negara yang bertanggungjawab kepada Allah dan kepada rakyat. Dalam melaksanakan tugasnya dia harus selalu berkonsultasi dengan Majelis Syura yang mendapatkan kepercayaan dari umat islam atau lembaga legislatif, yang anggotanya dipilih melalui pemilihan, “meskipun prosedur yang seperti itu belum terdapat pada zaman Al Khulafa Al-Rasyidin”.
  2. Keputusan pada majelis syura pada umumnya diambil atas dasar suara terbanyak, dengan catatan bahwa menurut islam banyaknya suara bukan ukuran kebenaran.
  3. Kepala negara tidak harus mengikuti pendapat majelis yang didukung oleh suara terbanyak. Dia dapat mengambil pendapat yang didukung oleh kelompok kecil dalam Majelis, atau bahkan tidak menghiraukan sama sekali pendapat-pendapat Majelis, baik mayoritas maupun minoritas. Tetapi rakyat tetap wajib mengawasi dengan jeli kebijaksanaan kepala negara, dan kalau ternyata dalam memerintah dia lebih mementingkan hawa nafsunya maka mereka (rakyat) berhak memecatnya.
  4. Untuk jabatan kepala negara, untuk keanggotaan Majelis Syura, atau untuk jabatan-jabatan lain yang penting, jangan dipilih orang-orang yang mencalonkan diri untuk jabatan-jabatan tersebut atau mereka yang berupaya untuk menduduki jabatan itu, sesuai dengan sabda nabi bahwa beliau tidak akan menyerahkan jabatan kepada seorang yang meminta atau berusaha mendapatkan jabatan itu. Dalam masyarakat islam tidak ada tempat untuk pencalonan bagi pengisian jabatan-jabatan pemerintah dan tidak pula dibenarkan kampanye pemilihan. Adalah bertentangan dengan jiwa islam bahwa untuk mengisi satu jabatan terdapat dua, tiga atau empat calon yang masing-masing giat kampanye dengan segala cara seperti rapat, pesta dan pawai serta penggunaan media elektronika dan cetak dengan menghamburkan uang, dan nanti yang menang adalah mereka yang paling pandai membohong dan mengelabui rakyat. Menurut beliau ini merupakan suatu hal yang dikutuk oleh islam.
  5. Anggota Majelis Syura tidak dibenarkan terbagi kedalam kelompok-kelompok atau partai-partai. Masing-masing anggota Majelis harus mengemukakan pendapatnya yang benar sebagai perorangan. Islam melarang anggota majelis terbagi dalam partai-partai, dan kalau harus ada partai hanyalah satu partai yaitu partai kepala negara (pemerintah).
  6. Badan yudikatif atau lembaga peradilan itu sepenuhnya berada diluar lembaga eksekutif, yang beararti mandiri, oleh karena hakim tugasnya adalah melaksanakan hukum-hukum Allah atas hamba-hamba-Nya, bukan mewakili atau atas nama kepala negara, tetapi mewakili dan atas nama Allah. Dalam ruang pengadilan kedudukan kepala negara adalah sama tinggi dengan orang-orang lain, dan tidak dapat dibenarkan pemberian dispensasi kepada seseorang untuk tidak hadir pada sidang pengadilan hanya karena kedudukannya dalam pemerintahan atau dalam masyarakat.  

E.    Pelaksanaan
Pada perkembangannya, banyak terdapat ketidaksesuaian antara teori dan praktik pemikiran politik Al Maududi. Dalam konsep negara misalnya, Al Maududi tidak pernah menghendaki adanya bentuk negara nasional, melainkan negara islamlah yang dikehendaki oleh beliau. Akan tetapi, Pakistan yang sebelumnya masuk sebagai bagian dari India akhirnya menjadi negara nasional dan beliau tetap mendukungnya. Terbukti dalam perumusan undang-undang Pakistan pada tahun 1948 memuat sebagian ide atau pemikiran politik Al Maududi.
Selain itu ada juga salah satu pemikiran Maududi mengenai syarat seorang khalifah. Menurut beliau wanita-wanita islam tidak dibenarkan duduk dalam Majelis Syura atau Dewan Rakyat dan memangku jabatan-jabatan penting dalam pemerintahan. Akan tetapi ketika Fatimah Jinnah, adik perempuan pemimpin agung Pakistan, Muhammad Ali Jinnah, mencalonkan diri sebagai presiden Pakistan pada tahun 1964. Maududi tidak hanya memberikan fatwa mendukungnya, tetapi juga menyertai calon presiden wanita itu kampanye sampai ke pelosok negeri Pakistan. Sungguh ironis, pelanggaran atas pemikiran politik dilakukan oleh Al Maududi sendiri.









PENUTUP
Kesimpulan
Pemikiran politik Al Maududi tentang negara adalah akomodasi dari dua konsep yaitu demokrasi dan teokrasi yang menghasilkan konsep baru yaitu Teodemokrasi. Meskipun teodemokrasi merupakan perpaduan antara teokrasi dan demokrasi, tetapi Maududi dengan tegas menolak konsep demokrasi barat dan teokrasi eropa. Beliau menolak secara tegas dengan alasan bahwa kedaulatan yang sesungguhnya ada di tangan Tuhan, bukan di tangan rakyat (inti konsep demokrasi). Sedangkan penolakan terhadap teokrasi, bahwa jika di eropa pemimpin/raja merupakan perwakilan Tuhan. Maka lain halnya dengan konsep teokrasi islam, dimana khalifah merupakan wakil dari ummat bukan wakil tuhan.  Oleh karenanya dapat disimpulkan bahwa Teodemokrasi merupakan konsep politik dimana kedaulatan Tuhan diwakili oleh rakyat atau umat, namun dibatasi oleh norma-norma yang datang dari Tuhan.
Dalam sistem politik dunia islam, masyarakat terbagi atas dua golongan berdasarkan ideologi agama yaitu masyarakat / warga negara islam dan masyarakat / warga negara bukan islam atau biasa disebut Dzimmi. Yang membedakan antara kedua kelompok masyarakat tersebut ialah terletak pada hak dan kewajibannya. Jika masyarakat islam berhak untuk mendapatkan kebebasan untuk berpartisipasi dalam politik, dalam hal ini ikut merumuskan dan memutuskan kebijaksanaan politik dengan cara masuk ke dalam sistem pemerintahan (baik daerah maupun pusat). Lain halnya dengan masyarakat bukan islam, mereka hanya berhak untuk duduk sampai di badan legislatif tingkat lokal. Mereka tidak berhak untuk ikut menjadi anggoat Majelis Syura di tingkat pusat dan menduduki jabatan-jabatan penting, apalagi maju sebagai presiden. Dalam hal kewajiban mereka juga memiliki perbedaan, meskipun tidak terlalu signifikan. Masyarakat islam wajib ikut dalam hal pembelaan negara. Sedangkan masyarakat bukan islan tidak wajib melakukannya.
Kekuasaan menurut Maududi terdiri atas tiga lembaga yaitu legislatif, eksekutif dan yudikatif. Lembaga Legislatif bertugas untuk menjadi penengah atau pemberi fatwa, dalam istilah trias politika adalah lembaga pembuat undang-undang. Sedangkat lembaga eksekutif bertugas untuk menegakkan pedoman-pedoman hukum Allah, dalam konsep trias politika merupakan pelaksana undang-undang. Dan yang terakhir ialah lembaga yudikatif yang bertugas untuk memberikan pengadilan berdasarkan hukum Ilahi, dalam istilah trias politika merupakan lembaga penegak hukum. Meskipun pada dasarnya sama dengan konsep trias politika milik John Locke tersebut, Maududi tidak pernah mau mengakui konsep trias politika tersebut sebagai bagian dari sistem politik islam. Alasan beliau ialah bahwa trias politika merupakan bagian dari konsep demokrasi barat.
Kesimpulan terakhir yang dapat dilihat berdasarkan pembahasan diatas adalah bahwa telah terjadi penyimpangan atas pemikiran politik Al Maududi dalam praktiknya. Misalnya, meskipun Maududi tidak pernah menyetujui konsep negara nasionalis. Akan tetapi beliau tetap mendukung Negara Pakistan yang menganut sistem nasionalis. Selain itu, pemikiran beliau tentang syarat pencalonan seorang khalifah, bahwa wanita muslim tidak boleh duduk di dalam Majelis Syura dan jabatan penting lainnya. Akan tetapi beliau pernah mendukung bahkan ikut berkampanye ketika Fatimah Jinnah maju sebagai calon presiden Pakistan pada tahun 1964.

Saran
Menurut penulis ada beberapa hal mengenai pemikiran politik Al Maududi yang sudah tidak begitu relevan untuk diterapkan. Misalnya mengenai perlakuan yang berbeda terhadap masyarakat, seperti masyarakat islam dan bukan islam. Hal tersebut seharusnya tidak diterapka didalam negara yang bukan murni negara islam seperti Pakistan. Selain itu, masalah jender misalnya. Bukan zamannya lagi ada pengistimewaan terhadap laki-laki atas perempuan. Perempuan dan laki-laki harus diberi kesempatan yang sama. Sebab wanita zaman sekarang juga sudah banyak yang sekolah dan pintar, tidak seperti dulu yang kebanyakan termasuk “bodoh” karena memang tidak diijinkan untuk sekolah dan belajar.

DAFTAR PUSTAKA
Al-Maududi, Abul A’la. Khilafah dan Kerajaan (Al-Khilafah wa Al-Mulk). Alih Bahasa Muhammad al-Baqir. Cetakan II. (Bandung : Mizan), 1988.
Asshidiqie, Jimly, Islam dan Kedaulatan Rakyat. (Jakarta : Gema Insani Press), 1995.
Rais, Amien, Kata Pengantar: Khilafah dan Kerajaan (Al-Khilafah wa Al-Mulk). Alih Bahasa Muhammad al-Baqir. (Bandung : Mizan), 1988.
Sjadzali, Munawir. Islam dan Tatanegara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran. UI-PRESS: Jakarta
http://satutujuan.multiply.com/journal/item/19 diakses tanggal 31 Oktober 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar