Senin, 13 Juni 2011

Politik Identitas


AIR BERSIH, MILIK SIAPA DAN UNTUK SIAPA
Ahmad Harianto Silaban

Seperti biasa, pak dusun jene-jene (S. Kr. Tutu) duduk di teras rumahnya menikmati secangkir kopi. Kopi hitam tanpa campuran gula yang tak pernah luput setiap beliau baru bangun. Terkadang ia minum sendiri, dan terkadang ditemani istri (Dg. Tinu), dan terkadang juga bersama para tetangga yang datang bertamu.
Namun hari ini, suasananya agak sedikit berbeda dalam pandangan masyarakat sekitar. Pak dusun minum kopi bersama istri dan juga seorang pria yang masih sangat muda, sekitar 20 tahun mungkin. Sebenarnya suasana seperti itu biasa terjadi, mengingat beliau adalah seorang turunan bangsawan (Karaeng) yang juga menjabat sebagai kepala dusun. Yang sedikit aneh adalah wajah daripada pria yang minum bersama beliau. Wajah itu cukup asing bagi masyarakat desa Tassese, khususnya dusun Bonto Tene.
Setelah beberapa pertanyaan terlontar dan akhirnya terjawab. Barulah keasingan akan wajah pemuda itu terjawab. Ternyata dia seorang mahasiswa yang datang dari Makassar untuk melakukan pelatihan penelitian desa. Dia datang bersama rombongan dan akan tinggal di desa ini selama tujuh hari kedepan.
Tak lama kemudian, sekitar sepuluh menit, keluar dari dalam rumah seorang wanita remaja. Wanita itu adalah keponakan pak dusun yang tinggal disitu karena sekolah. Rumah dan orangtuanya ada di desa Gantarang Pangi, tapi masih satu kecamatan dengan Tassese yaitu kecamatan Manuju. Butuh waktu tiga jam perjalanan menuju desa tersebut, dengan jalan kaki.
Wanita muda itu adalah Kamisa, atau biasa dipanggil Misa. Dia adalah siswi kelas VIII di SMP Negeri 3 Manuju. Tinggal bersama tantenya (Dg. Tinu) agar lebih dekat kesekolah. Sebab rumahnya jauh dari desa Tassese, tempat SMP Negeri 3 Manuju. Sedangkan pria muda yang sedang minum kopi bersama Karaeng Tutu itu adalah saya. Misa akan mendampingi saya selama tujuh hari kedepan. Oleh sebab itulah saya tinggal dirumah ini, dan minum kopi pada pagi hari ini bersama Karaeng Tutu. Kami minum kopi bersama sambil makan kue kembang goyang (makanan sejenis kerupuk terbuat dari beras ketan).
Setelah kami selesai minum kopi, kegiatan lainpun dilanjutkan. Ibu pergi memasak kedapur, Misa menyapu halaman. Tapi saya dan bapak masih lanjut bercerita tentang desa Tassese. Ternyata desa Tassese memiliki luas sekitar 9,7 km2 . Terdiri dari empat dusun yakni dusun Jene-Jene, dusun Tassese, dusun Bonto Tene, dan dusun Bonto Sungggu. Keempat dusun terdiri delapan RW (masing-masing dusun dua RW) dan 16 RT (masing-masing dusun empat RT).
Penduduk di desa Tassese sebanyak 1767 jiwa, yang tersebar empat dusun tersebut. Penduduk terbagi atas sekitar 400 kepala keluarga. Masyarakat kebanyakan adalah keluarga petani (99,7 %) dan sisanya adalah pegawai negeri sipil (0,3 %). Semua masyarakat merupakan asli suku Makassar.
Matahari telah terbit, sekitar pukul sembilan pagi. Saya pergi mandi pagi, karena ingin lebih segar. Ketika air tertumpah membasahi tubuhku, aku mulai menggigil. Ternyata mandi pagi di desa ini cukup menyiksa diri, khususnya bagi para pendatang seperti saya. Desa ini memang terletak di lereng gunung bawakaraeng, sekitar 800 m diatas permukaan laut. Tapi bukan ketinggian itu yang membuat saya kedinginan. Namun karena air yang saya gunakan mandi tersebut berasal dari bebatuan di Gunung Saukang.
Air yang digunakan oleh masyarakat desa Tassese memang berasal dari Gunung Saukang yang memanjang. Air tersebut dialirkan dari Ulu Jene menuju rumah dengan menggunakan pipa atau selang. Pipa ataupun selang tersebut dibeli dan digunakan masyarakat secara berkelompok. Jadi satu pipa atau satu selang, terdiri satu kelompok. Dalam satu desa Tassese, diperkirakan ada lima puluh pipa/selang. Berarti ada lima puluh kelompok. Masing-masing kelompok rata-rata delapan rumah/KK. Sebab masyarakat desa Tassese lebih kurang 400 KK. Setiap kelompok memiliki sumber mata air / Ulu Jene yang berbeda. Kecuali 14 kelompok di dusun Jene-Jene, berasal dari satu sumber. Sumber tersebut disebut Salu’ Balandaia, diperkirakan dibuat / dibangun pada masa penjajahan Belanda.
Pipa atau selang tersebut sebenarnya baru ada sejak tahun 2005. Sebelum itu, masyarakat mengenal adanya sumur pancoran dan pipa bambu. Pada zaman dahulu sampai tahun 1970-an, masyarakat menggunakan sumur pancoran. Sumur pancoran adalah sumur kecil yang airnya dialirkan melalui bambu sepanjang dua sampai empat meter. Disitulah masyarakat desa Tassese (dahulu desa Tamalatea, kemudian menjadi desa Manuju) melakukan berbagai aktivitas, seperti mandi, cuci dan kakus. Untuk air konsumsi (minum, masak) dibawa kerumah dengan menggunakan bambu yang isinya sekitar sepuluh sampai dua puluh liter. Sumur pancoran tersebut terletak juga di lereng Gunung Saukang, dekat dengan beberapa Ulu Jene sekarang. Namun ada juga sumur pancoran dipinggir sungai.
Perkembangan zaman, sekitar tahun 1970-an mulai merubah sedikit pola pengelolan air bersih di desa Tassese. Masyarakat mulai menyambung bambu seperti pipa, kemudian dialirkan air dari Ulu Jene menuju rumah. Tapi hanya sedikit warga yang bisa seperti itu. Sebab medan yang dilalui adalah naik turun lereng dan persawahan. Sehingga tetap masih banyak yang menggunakan sumur pancoran. Namun jarak beberapa sumur pancoran mulai tambah jauh ditahun 1980-an. Sebab sumur pancoran yang ada di pinggir Kaloro’/sungai sudah tak bisa dimanfaatkan. Hal tersebut karena sungai mulai tercemari oleh festisida yang digunakan para petani disawah.
Jumlah masyarakat yang pergi ke sumur pancoran yang ada disepanjang Gunung Saukang pun akhirnya betambah. Masyarakat di desa Tassese memang tak ada yang memiliki sumur didekat rumah, baik itu galian maupun sumur bor. Sehingga semua harus pergi ke sumur pancoran yang terdapat di Ulu Jene. Hal tersebut masih berlangsung sampai tahun 2003 akhir.
Sekitar awal tahun 2004, barulah masyarakat mulai beralih dari sumur pancoran dan pipa bambu. Mereka beralih pada penggunaan pipa atau selang. Penggantian atau pemasangan pipa/selang merupakan hasil swadaya masyarakat secara berkelompok. Setiap kelompok anggotanya relatif. Ada tiga rumah/KK, ada yang lima, dan ada juga yang lebih dari sepuluh rumah. Seperti kelompok bapak saya misalnya, ketika awal pemasangan ada dua belas rumah. Kedua belas rumah tersebut adalah Sambawa Dg. Ngerang (pemilik lahan Ulu Jene), Dg. Junu, S. Kr. Tutu, S. Dg. Sewang, Tawalla, Jura’, Capa’, Tiro, Sailah, Dg. Gassing, Salle dan Jualla. Masing-masing anggota, kecuali Dg. Ngerang, mengeluarkan dana sekitar Rp. 200.000,00. Biaya tersebut untuk membeli pipa yang panjangnya sekiktar 1600 m (1 pipa 4 m, jadi lebih kurang 400 pipa x 2500 = 1.000.000). Selain pipa ada juga kawat penyangga sebanyak 50 Kg (9000/Kg), jadi sekitar Rp. 450.000,00. Dan juga kawat pengikat sekitar 10 Kg (50.000). serta biaya pemasangan pipa dan pembuatan sumur (makan + minum).
Pada perkembangannya kelompok tersebut menjadi lima belas anggota. Ada tiga anggota tambahan yaitu Dg. Senga, Haruddin, dan Dg. Janji. Mereka tidak dipungut biaya, namun diharapkan agar lebih rajin dalam proses perawatan pipa/selang. Oya kelompok bapak lebih memilih untuk menggunakan pipa daripada selang. Alasannya adalah bahwa selang akan mengandung lumut setelah lama. Selain itu selang akan kempes / mengecil ketika musim panas dan membeku dimusim dingin.
Antara kelompok bapak dengan kelompok lainnya hampir sama saja. Baik dalam hal pemasangan, penggunaan, perawatan, bahkan pendistribusian air. Masyarakat di desa Tassese lebih memilih secara berkelompok kecil, daripada satu pipa / kelompok untuk satu desa atau dusun. Ada beberapa alasan mereka dalam memilih hal tersebut. Yang pertama, pipa besar itu mahal. Kelompok yang besar membutuhkan pipa yang sangat besar dan harganya mahal. Yang kedua, pola rumah penduduk bukan garis lurus. Sehingga akan sulit dalam pemasangan pipa dan pendistribusian air. Yang ketiga, bahwa sumber mata air / Ulu Jene tidak memadai untuk pipa besar, kecuali Salu’ Balandaia. Oleh karena itulah masyarakat lebih memilih untuk berkelompok dan menggunakan pipa kecil. Sehingga lebih mudah mencari Ulu Jene dan melakukan perawatan serta pendistribusian air kerumah anggota kelompok.
Rasa dingin pada air itu membuatku penasaran untuk melihat langsung Ulu Jene atau sumber mata air tersebut. Aku memutuskan untuk pergi dan meminta Misa, Rostina (tetangga, siswi kelas IX SMPN3 Manuju) dan Herawati (tetangga, siswi kelas IV SDN Manuju). Mereka tahu jalan menuju Ulu Jene tersebut, tapi mereka belum tahu pasti dimana letaknya.
Pagi itu matahari baru beranjak dari tempat tidurnya. Ketika kami memulai perjalanan ke Gunung Saukang. Sekitar lima ratus meter kami menyusuri jalan beraspal, sampai perbatasan antara dusun Bonto Tene dengan dusun Bonto Sunggu. Perjalanan dilanjutkan menyusuri jalan berbatu, namun hanya sekitar tiga ratus meter. Sebab kami memilih untuk mengambil jalan kompas. Karena melalui jalan besar akan memakan waktu dua sampai tiga jam, menurut Rostina.
Perjalanan melalui pematang sawah yang hanya selebar tiga puluh centimeter itupun harus ditempuh. Demi menghemat waktu dan terutama energi. Orang kota itu lemah, tidak kuat jalan. Itulah pandangan Misa dan teman-teman terhadap saya dan dua fasilitator saya yang datang dari kota. Padahal desa saya sebenarnya lebih jauh dari ibukota provinsi. Desa Tassese dapat ditempuh dalam waktu dua jam dari Makassar, ibukota provinsi Sulawesi Selatan. Tentunya dengan menggunakan mobil. Sedangkan desa saya butuh waktu tujuh jam dari Medan, ibukota Provinsi Sumatera Utara. Bahkan disana saya terkadang harus berjalan sejauh lima kilometer menuju ibukota kabupaten. Karena hanya satu kali seminggu (Jum’at) ada mobil masuk desa saya. Tapi dari Tassese menuju Sungguminasa (ibukota kabupaten), setiap hari ada pete-pete (anbgkutan umum). Akan tetapi, sepengetahuan mereka saya datang dari ujung Pandang, bukan dari desa Aek Lung (nama desa saya di kecamatan Dolok Sanggul, kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara).
Saat melewati sawah-sawah yang padinya sudah menguning. Saya memperhatikan pipa-pipa yang terpampang di sepanjang sawah. Setidaknya ada delapan pipa yang sempat saya lihat. Semuanya berasal dari atas bukit sepanjang Gunung Saukang, dan menuju dusun Bonto Tene, menurut Misa dan teman-teman. Pipa-pipa itu ditopang oleh bambu setinggi dua sampai empat meter. Relatif berdasarkan medan yang dilalui. Hal tersebut agar pipa tidak jatuh dan merusak padi. Selain itu juga, agar air lebih gampang mengalir. Sebab dipenghujung sawah, pipa akan memasuki kebun yang menanjak, menuju rumah penduduk.
Ditengah perjalanan melalui sawah tersebut. Rostina bertanya terhadap bapak dan ibuk yang sedang panen padi secara gotong-royong. “Kamae Ulu Jene’ na Karaeng Tutu?”, dimana sumber mata air milik Karaeng Tutu, begitulah mungkin arti dari pertanyaan itu. Karena memang sayalah yang bertanya dalam bahasa Indonesia. Yang menurut masyarakat desa Tassese adalah bahasa Melayu. Seorang bapak pun kemudian menjawab, “Injo lalang ka” sambil menunjuk kearah hutan. Itu sana, didalam, begitulah kira-kira.
Pematang sawah yang sempit itu akhirnya berakhir. Kami mulai memasuki hutan. Sekitar sepuluh menit kami menemukan pipa yang kelompok Karaeng Tutu. Namun harus kehilangan kembali, karena pipa ditanam dalam tanah. Kata mereka agar tahan lama, dan terhindar dari gangguan penghuni hutan. Seperti kera, babi dan handai taulan. Karena Misa dan teman-temannya tidak tahu persis dimana Ulu Jene tersebut.
Herawati mengajak kami untuk naik samapi keatas bukit. Disana ada omnya yang katanya tahu tempat Ulu Jene itu secara pasti. Akhirnya kami mendaki bukit itu. Ternyata sangat dekat, hanya lima menit sudah sampai. Kami melihat sebuah perkampungan, namanya Pa’rasangan Beru (Kampung Baru). Nama tersebut bukan menunjukkan bahwa kampung itu baru ada. Tapi itulah namanya. Rumah pertama adalah milik Dg. Tiro. Beliaulah yang membawa kami turun kembali menuju Ulu Jene tersebut. Ternyata tadi hampir kami temukan.
Ulu Jene disitu ada tiga buah, yang sangat berdekatan. Tapi satu sudah ditutup, dan satu lagi adalah cadangan (persiapan dimusim kemarau). Jadi yang dipakai hanya satu. Ulu Jene dibentuk seperti sumur, yang sama sekali tidak rapi. Diameternya sekitar dua meter, dengan kedalaman lebih kurang satu meter. Tapi kedalaman air hanya sekitar tiga puluh centimeter. Dalam buku catatan saya mencoba denah lokasi Ulu Jene. Jarak antara sumur satu (yang sedang dipakai) dengan sumur dua (cadangan) sekitar lima meter. Jarak sumur dua (cadangan) dengan sumur tiga (bekas) sekitar lima meter juga. Sedangkan jarak antara sumur tiga dengan sumur satu sekitar tujuh meter. Jadi gambar membentuk segitiga terbalik, dengan puncak sumur dua. Demikianlah kira-kira gambaran denah lokasi Ulu Jene tersebut.
Disekitar Ulu Jene, tumbuh banyak pohon dengan aneka macam jenis. Hutan tersebut digolongkan sebagai hutan rakyat (milik masyarakat), bukan hutan daerah (milik pemerintah). Pemilik lahan tersebut adalah almarhun Dg. Bora’. Namun sudah diwariskan kepada anaknya, Sambawa Dg. Ngerang, salah satu anggota kelompok. Beliau tidak mengutip bayaran ataupun sewa terhadap anggota lain. Hanya saja pada saat pembelian pipa, ia tidak ikut membayar. Itu atas kesepakatan seluruh anggota. Dan seperti itulah kebanyakan sistem kelompok yang ada. Bahkan terkadang anggota lain yang bukan pemilik tanahpun ada yang tidah membayar. Jika memang tidak punya uang atau sedang tidak ada. Hanya saja, ia akan lebih rajin melakukan perawatan, itupun atas kesadaran sendiri. Bukan atas paksaan anggota kelompok lain.
Dari Ulu Jene tersebut dipasang pipa besi ukuran dua inchi sepanjang tujuh meter. Tapi tidak semua kelompok seperti itu. Kebanyakan pakai bambu, karena mudah dicari, sebab bambu sangat banyak di desa Tassese. Mulai dari bambu pattung, bambu karring dan bambu karisa. Yang biasa dipakai untuk penghubung pipa dan Ulu Jene adalah bambu pattung. Karena ukurannya besar dan bisa menampung air dalam debit lebih banyak. Hal tersebut agar air yang tertampung memberikan dorongan, sehingga air mengalir kencang didalam pipa. Itu adalah salah satu topik pelajaran dalam bidang studi fisika (hukum / teori tekanan). Tapi mereka mempelajarinya dari alam, bukan dari sekolah. Masyarakat desa Tassese kebanyakan hanya tamat SD, dan banyak tidak tamat. Kecuali generasi 1990-an, sudah mulai kesekolah lanjut. Bahkan sudah ada yang lanjut keperguruan tinggi. Namun yang merancang pipa itu adalah generasi 1970-an sampai generasi 1980-an yang kebanyakan tidak tamat SD. Sementara pelajaran fisika baru ada ditingkat SMP dan SMA. Tampaknya ini butuh penelitian lebih lanjut. Tapi kalau indikatornya adalah bapak saya. Maka dapat dipastikan pengetahuan itu didapat dari alam. Karena beliau sekolah hanya sampai kelas tiga SD. Entahlah, aku tak mau terlalu pusing. Yang pasti orang desa memang kreatif, setidaknya menurut saya.
Hutan rakyat yang menjadi tempat kebanyakan Ulu Jene sangat dijaga oleh masyarakat. Hal tersebut guna menjaga ekosistem alam, dan menjaga ketersediaan air bersih. Masyarakat dilarang memotong kayu dihutan secara sembarangan. Hanya boleh ditebang, jika mau bangun rumah, itupun harus ditanam kembali, minimal satu pohon. Aturan tersebut bukan datang dari pemerintah. Melainkan kesepakatan masyarakat, yang dijadikan semacam hukum adat. Setiap kepala dusunlah yang bertugas mengawasi dan menegur apabila ada masyarakat melanggar kesepakatan tersebut. Tapi menurut Karaeng Tutu (Kepala Dusun Jene-Jene), belum pernah ada masyarakat yang melanggar. Masyarakat disini cukup sadar untuk menjaga ekosistem / keseimbangan alam.
Pipa besi atau bambu disambungkan langsung dengan pipa paralon menuju rumah penduduk, tepatnya kelompok yang bersangkutan. Kemudian dipasang sepanjang depan rumah anggota kelompok. Disetiap rumah, sambungan pipa tidak permanen. Sehingga mudah dilepas, untuk disambung dengan selang menuju bak penampungan masing-masing. Tidak ada jadwal dalam pendistribusian. Mereka hanya saling memberi tahu jika ingin menyambungkan selangnya. Hal tersebut berjalan dengan lancar, tanpa pernah ada perselisihan apalagi sampai pada konflik.
Beberapa warga yang sempat saya ajak cerita, sebenarnya masih merasa sedikit repot. Pendistribusian terkadang sulit dilakukan karena banyak anggota. Apalagi dimusim kemarau. Air mlai berkurang, bahkan kadang harus pindah Ulu Jene. Itulah gunanya Ulu Jene dibuat dari satu. Guna mengantisipasi kekeringan dimusim kemarau.
Pemerintah belum pernah memberi bantuan terhadap masyarakat. Terkait pengelolaan air bersih disini. Sudah beberapa kali diusulkan dalam musyawarah rencana pembangunan (Musrembang) desa. Misalnya pada Musrembang bulan Maret 2008, Maret 2009, dan terakhir Musrembang pada Maret 2010. Akan tetapi pihak pemerintah belum memberikan jawaban, apalagi bantuan. Memang pemerintah telah memberikan bantuan pipa. Tapi itu hanya untuk mesjid. Itupun tidak semua mesjid di Tassese mendapatkannya. Hanya mesjid Muhajirin di dusun Bonto Tene dan Mesjid Jabal Nur di dusun Tassese yang mendapatkan bantuan pipa. Sedangkan mesjid di dusun Jene-Jene dan mushola di dusun Bonto Sunggu belum mendapatkan bantuan pipa.
Karena masyarakat belum mendapatkan bantuan pemerintah. Maka mereka terus menikmati apa yang mereka miliki. Pipa sederhana hasil swadaya mereka sendiri. Menikmati air yang langsung dari Gunung Saukang dan Gunung Tanah Banyoro’ dan gunung-gunung disekitarnya. Kebersihan air tersebut juga sebenarnya masih menjadi tanda tanya. Sebab Ulu Jene diatas bukithanya ditutup menggunakan kayu sampingan atau papan yang kurang bagus. Pernah ada dokter yang mengatakan bahwa air disini mengandung kapur. Tapi masyarakat lebih percaya atas uji manual yang mereka lakukan sendiri. Air disimpan dalam botol, dan ditunggu beberapa hari. Karena tidak ada endapan, maka kesimpulannya adalah air tersebut tidak mengandung kapur. Lagipula air tersebut sudah dikonsumsi sejak nenek mereka. Toh semuanya sehat-sehat saja. Tidak ada yang kena penyakit kulit atau jenis lain. Bahkan sampai akhir tahun 1990-an, air langsung dikonsumsi. Tanpa dimasak terlebih dahulu. Memasuki abad ke-21, baru air dimasak sebelum dikonsumsi. Terbukti mereka tetap hidup sehat, tanpa imunisasi sekalipun.
Gunung Saukang, Gunung Tana Banyoro’, dan bukit-bukit disekitarnya akan terus dijaga oleh masyarakat desa Tassese. Itu semua demi kelangsungan hidup bersama. Karena disitulah sumber air bersih, yang menurut para pakar ilmu kesehatan, bahkan mungkin menurut semua orang, adalah kebutuhan utama manusia. Sebab tujuh puluh persen tubuh manusia sangat tergantung akan air. Masyarakat menjaga keseimbangan hutan rakyat itu. Agar terhindar dari kerusakan, dan juga pengambil alihan pihak lain. Oleh karena itulah, sertifikat kepemilikan hutan rakyat disini sangat jelas. Pajaknya juga dibayar setiap tahun, yang seluruh desa Tassese mencapai dua puluh delapan juta rupiah (Rp. 28.000.000,00). Dan ternyata bukti pajak (SPT) tersebut berguna juga dalam ajang lomba desa. Tapi bukan itu tujuan mereka membayar pajak. Meskipun untuk memenuhi kewajiban sebagai warga negara. Dan terutama untuk menjaga hutan rakyat dilereng gunung. Sebagai sumber kehidupan (air) bagi seluruh masyarakat desa Tassese.
Sadar ata tidak sadar, mereka telah memenuhi kewajiban mereka. Membayar pajak bumi dan bangunan. Meskipun itu milik mereka sendiri. Tapi sadar atau tidak sadar pula, pemerintah telah mengabaikan hak mereka sebagai warga negara. Dalam undang-undang disebutkan bahwa bumi, langit, dan segala isinya: dikelola oleh negara dan dipergunakan untuk kepentingan rakyat (pasal 33). Makna yang sama ternyata menjadi alasan masyarakata Tassese untuk tidak mengutip bayaran / sewa terhadap kelompok yang mengambil air dari Ulu Jene, yang bukan lahan / kebun mereka. Air adlah milik bersama, dan bisa digunakan bersama. Sehingga jika ada kelompok yang mengambil Ulu Jene dari lahan lain, tidak menjadi masalah.
Mereka (masyarakat desa Tassese) memang tidak hafal, atau bahkan mungkin tidak tahu apa sis pasal 33 tersebut. Tetapi mereka paham maknanya, dan bersedia menjalankannya secara sukarela. Namun bagaimana dengan pihak pemerintah. Apakah mereka tahu apa isi pasal 33 dan apa yang menjadi hak setiap warganegaranya. Khususnya masyarakat di desa Tassese, kecamatan Manuju, kabupaten Gowa. Itulah mungkin buah tangan yang akan saya bawa, dari Tassese menuju Sungguminasa, dan bahkan sampai Makassar. Masyarakat Tassese sudah memenuhi kewajiban mereka, “membayar pajak”. Tapi bagaimana dengan hak-hak mereka sebagai warga negara, “mendapatkan air bersih” sebagai sumber kehidupan. Sudahkah pemerintah memberinya, setelah menerima uang pajak. Jawabannya adalah belum. Kenapa belum diberikan, itulah buah tangan saya seperti yang sudah saya sebutkan diatas.
Selamat tinggal desa Tassese, selamat tinggal Pa’rasangan Beru, selamat tinggal Gunung Saukang. Aku akan selalu merindukanmu, merindukan airmu yang begitu dingin, yang membuatku menggigil disaat mandi, yang membuatku malas mandi pagi. Doakan aku, agar buah tangan yang kubawa, tidak terjatuh saat perjalanan pulang, melewati jalan yang naik turun, dan berliku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar